Kamis, 21 November 2013

Rukhshah Dalam Shalat Jamaah

I.  Pendahuluan
Salah satu syiar yang agung dalam Islam adalah shalat berjamaah di masjid. Para ulama sepakat bahwa melaksanakan shalat fardhu di masjid merupakan salah satu ketaatan yang sangat dianjurkan dan ibadah yang paling besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Shalat fardhu di masjid merupakan salah satu syiar agama yang paling tampak dan paling besar.
Allah SWT telah mensyariatkan kepada umat Islam untuk berkumpul dalam waktu-waktu tertentu. Di antaranya adalah berkumpul di waktu siang dan malam hari. Seperti shalat lima waktu, dalam artian lima kali sehari-semalam orang-orang muslim berkumpul di masjid untuk melaksanakannya.
Umat Islam sejatinya telah menjalankan shalat berjamaah dengan tekun
dan sangat membenci orang-orang yang meninggalkannya sejak masa Nabi SAW. Namun begitu, dalam shalat berjamaah terdapat keringanan-keringanan (rukhshah) untuk meninggalkannya jika ada udzur yang menghalanginya. Islam memberikan keringanan ini supaya umat Islam bisa senantiasa menjaganya dan menegakannya tanpa merasakan kesempitan dan kesukaran.
II.                Rumusan Masalah
A.    Apa hukumnya shalat berjamaah?
B.     Apa saja keringanan-keringanan di dalam shalat jamaah?
III.             Pembahasan
A.    Hukum Shalat Berjamaah
Shalat disyariatkan pelaksanaannya secara berjamaah. Dengan berjamaah, shalat makmum akan terhubung dengan imamnya. Legalitas syara’ shalat jamaah ditetapkan dalam al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ para ulama. Allah SWT berfirman,
Artinya, “dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (QS, an-Nisa; 102)
Ayat ini menunjukan legalitas shalat berjamaah dalam kondisi ketakutan, sehingga legalitas pelaksanannya dalam kondisi aman jelas jauh lebih utama. Rasulullah SAW bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a,
صلاة الرجول في جماعة تزيد على صلاته في بيته و سوقه خمسا وعشرين درجة
Artinya, “Shalat seseorang secara berjamaah melebihi shalatnya di dalam rumahnya dan pasarnya dengan tingkat kelebihan 25 derajat.”
Shalat berjamaah termasuk salah satu keistimewaan yang diberikan dan disyariatkan untuk umat Islam. Ia mengandung nilai-nilai pembiasaan diri untuk patuh, bersabar, berani, dan tertib aturan, disamping nilai sosial untuk menyatukan hati dan menguatkan ikatan.
Adapun terkait dengan hukum shalat berjamaah, penyusun menemukan bermacam-macam hukum beserta kehujjahan dalil pendukungnya. Dalam satu hadits, Nabi SAW mengancam akan membakar rumah orang-orang yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Ancaman dan kecaman Nabi SAW tersebut kepada orang yang meninggalkan shalat jamaah membuat sebagian ulama menyatakan wajib dan fardhu ‘ain. Namun sebagian yang lain menyatakan fardhu kifayah, dan sebagian lain menyatakan bahwa shalat jamaah adalah syarat sah shalat, sehingga shalat tidak akan sah jika tidak dilaksanakan secara berjamaah tanpa adanya udzur. Adapun pendapat yang rajih dalam hal ini adalah pendapat yang disampaikan oleh mayoritas ulama yang mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah sunnah muakkadah.[1]
Hadits yang menjadi dasar pertimbangan hukum tersebut adalah hadits narasi Abu Hurairah r. a bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إنّ أثقل صلاةٍ على المنافقين صلاةُ العشاء و صلاةُ الفجر و لو يعلمون ما فيهما لأتوهما ولو حبوا و لقد هممتُ أن آمُر بالصلاةِ فتُقامَ ثمّ آمُرَ رجُلاً فيصلّي بالنّاس ثمّ أَنطلِقَ معيْ برجالٍ معهم حُزامٌ من حطبٍ إلى قومٍ لا يشهدون الصلاة فأُحرِّقَ عليهم بيوتهم بالنّار. (مُتّفقٌ عليه)
Artinya, “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat isya dan shalat subuh, padahal andai mereka mengetahui apa yang tersimpan di dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Aku sebenarnya ingin memerintahkan mereka untuk shalat, lalu dirikanlah shalat, kemudian aku perintahkan salah seorang laki-laki untuk menjadi imam shalat bagi orang-orang, kemudian aku bertolak bersama sejumlah laki-laki yang bersamaku membawa seikat kayu bakar ke tempat kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah), lalu aku bakar rumah mereka dengan api. (Muttafaqun Alaih)
Ancaman membakar rumah mereka jika dipandang secara literal mengandung arti wajib. Namun kemungkinan, hadits diatas berlaku bagi orang munafik yang mengabaikan shalat berjamaah di masjid lalu meninggalkan shalat walaupun secara sendirian. Hal ini dapat dipahami dari hadits Ibnu Mas’ud r.a yang artinya,
“Peliharalah kelima shalat ini ketika kumandang adzan diserukan, sebab mereka adalah termasuk sunnatul-Huda dan sesungguhnya Allah SWT telah mensyariatkan kepada Nabi-Nya sunnah-sunnah al-Huda. Kau telah melihat kami dan tidak ada yang tertinggal dalam menunaikannya kecuali orang munafik yang jelas-jelas munafik. Kau telah melihat kami, dan sungguh seorang laki-laki akan dipapah diantara dua orang laki-laki hingga ia diberdirikan di barisan (shaff shalat), padahal tidak ada salah seorangpun diantara kalian kecuali ia memiliki masjid di rumahnya. Jikalau kalian shalat di rumah kalian dan meninggalkan masjid-masjid kalian maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian dan jika kalian tinggalkan sunnah Nabi kalian, maka kalian benar-benar sesat.”[2]
Ditetapkannya hukum sunnah muakkadah untuk shalat berjamaah juga dilihat dari beberapa hadits Rasulullah SAW yang menggunakan kalimat “lebih baik” dan penggunaan kalimat-kalimat yang menunjukkan keutamaan shalat jamaah. Pendapat ini dianut oleh mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafiiyyah[3]. Sedangkan Syafii dan Malik sendiri mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah adalah fardhu kifayyah, artinya jika di dalam satu desa tidak ada yang shalat berjamaah, maka berdosa.
B.     Rukhshah dalam shalat jamaah
Islam memang begitu menganjurkan umatnya untuk melaksanakan shalat berjamaah, namun ia memberikan keringanan-keringanan untuk meninggalkannya. Namun begitu, keringanan yang diberikan tersebut harus disertai dengan adanya uzur yang menghalanginya melaksanakan shalat berjamaah.
Para ulama telah menyebutkan uzur-uzur yang karena keberadaannya seseorang diberikan rukhshah untuk tidak mengerjakan shalat berjamaah. Uzur-uzur tersebut diantaranya;
1.      Sakit
Maksud dari sakit disini adalah seseorang mengidap penyakit yang menyebabkannya tidak bisa menghadiri shalat jamaah. Adapun terkait hal ini Rasulullah SAW bersabda,
إذا مرِض العبدُ أو سافر كُتِب له ما كان يعمل صحيحاً مقيماً
Artinya, “Jika seorang hamba sakit atau sedang bepergian, maka ia mendapatkan pahala sebagaimana ketika ia mengerjakannya (shalat jamaah) pada waktu sehat meskipun di dalam rumahnya.[4]
Rasulullah SAW sendiri menjelang akhir hayatnya, beliau jatuh sakit selama tiga hari. Selama rentang waktu itu, beliau tiduran di balik hijabnya dan menyuruh umatnya untuk menunjuk Abu Bakr r.a untuk menjadi imam shalat.
2.      Hujan lebat, adanya lumpur atau angin badai
Islam memberikan keringanan untuk meninggalkan shalat berjamaah bagi orang-orang yang memiliki uzur-uzur tersebut. Namun begitu, uzur hujan lebat, lumpur atau angin badai harus disertai adanya masyaqqah (kesusahan) bagi orang yang hendak melaksanakan shalat jamaah. Adapun ketika zaman sekarang ketika turun hujan lebat orang-orang bisa masuk ke mobil mereka kemudian bisa sampai ke masjid untuk shalat berjamaah, maka tidak ada rukhshah buatnya[5].
Para ulama berpendapat bahwa hikmah dari uzur ini adalah karena maksud daripada shalat berjamaah tidak akan terwujud kecuali dengan kekhusyukan di dalam shalat. Sedangkan karena hujan lebat, banjir lumpur atau karena angin badai, shalat menjadi tidak khusyuk dan menyebabkan kekacauan di dalam hati[6].
3.      Memakan bawang merah dan bawang putih
Seseorang yang setelah memakan dua jenis bawang ini diperbolehkan untuk tidak shalat berjamaah di masjid, sampai hilang baunya. Hal ini sesuai sabda Nabi SAW yang artinya,
“Barang siapa memakan jenis sayuran ini, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami sampai hilang baunya, yaitu bawang putih.”[7]
4.      Uzur lainnya
Diantara halangan lainnya adalah cuaca yang sangat dingin, sangat panas, keadaan gelap gulita, menahan kencing, berak dan kentut. Takut kepada orang zalim disekitar masjid atau dari orang yang menghutangi sedangnkan ia masih dalam keadaan belum mampu untuk melunasi[8]. Uzur lainnya, khawatir akan harta benda, keluarga dan nyawa, terburu-buru hendak bepergian jauh dan boleh meninggalkan shalat jamaah jika Imam shalat terlalu lama atau terlalu cepat[9]
IV.             Kesimpulan
1.      Hukum shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, jika dilihat dari kalimat-kalimat yang dipakai oleh Nabi SAW adalah merupakan kalimat-kalimat yang menunjukkan keutamaan, seperti afdhalu, tazidu dan lainnya.
2.      Boleh tidak menghadiri shalat jamaah di masjid jika memiliki halangan-halangan yang bersifat membebani (masyaqqah) seperti; hujan lebat, banjir lumpur, badai angin, cuaca yang ekstrem dan lain sebagainya.
V.                Penutup
Demikian makalah ini kami susun. Pemakalah menyadari ada banyak kekurangan baik dalam segi isi maupun teknik penyusunan makalah. Pemakalah selalu terbuka terhadap kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.








Daftar Pustaka

Abul Bashal, Ali. 2011. Rukhshah Dalam Shalat. Jakarta: Akbar Media
Al-Fauzan, Saleh. 2005. FIQIH Sheari-hari. Jakarta: Gema Insani Press
M Azzam, Abdul Aziz & Abd Wahhab Sayyed. 2009. Fiqh Ibadah. Jakarta: Amzah


[1] Abdul Aziz M Azzam & Abd Wahhab Sayyed, Fiqh Ibadah, (Jakarta: AMZAH, 2009), hlm. 239
[2] Hadits riwayat Ahmad dan Muslim
[3] Ali Abul Bashal, Rukhshah Dalam Shalat, ( Jakarta: Akbar Media, 2011), hlm. 90
[4] Saleh al-Fauzan, FIQIH Sehari-hari, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), hlm. 140
[5] Abdul Aziz M Azzam & Abd Wahhab Sayyed, Fiqh Ibadah, hlm. 263
[6] Ali Abul Bashal, Rukhshah Dalam Shalat, hlm. 104-105
[7] Ali Abul Bashal, Rukhshah Dalam Shalat, hlm.105
[8] Abdul Aziz M Azzam & Abd Wahhab Sayyed, Fiqh Ibadah, hlm. 263
[9] Ali Abul Bashal, Rukhshah Dalam Shalat, hlm.114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D