Oleh
: Mohammad Teguh PradHana*
Membicarakan plagiarisme di
lingkungan kampus memang tidak ada habisnya. Isu yang selalu saja terdengar
nyaring, selalu diulas tanpa pernah tuntas. Banyak yang membicarakannya,
mengajukan berbagai macam solusi, tapi praktek plagiarisme tetap saja masih berjalan.
Sampai-sampai ada merk rokok yang
sempat mengangkat tema ini di salah satu iklannya. Tentu saja bagi sebagian
besar masyarakat tanah air masih teringat jelas iklan terkenal tersebut dengan
slogannya, “tanya kenapa ?”
Menurut hemat penulis, ada dua hal yang melatarbelakangi
praktek plagiarisme di kalangan mahasiswa. Pertama, keterbatasan ide yang
didukung rasa malas. Kedua, kebiasaan curang yang dibawa sejak pelaku masih berada
di sekolah. Seperti yang sering diberitakan media-media, tidak sedikit siswa
yang melakukan kecurangan saat mengerjakan soal-soal ujian, misal berita “Nyontek
dari Ponsel, Dua Siswa Ditangkap Polisi (Kompas, 16 April 2012).
Sayangnya, meskipun ada banyak siswa ketika ujian nasional melakukan kecurangan,
tapi tetap saja mereka bisa melenggang lulus ujian. Kenyamanan yang ditambah
rasa aman inilah yang akhirnya tetap mereka bawa, hingga ke jenjang perguruan
tinggi.
Disamping dua hal diatas, pelaku plagiarisme juga merasa akan
lebih mudah dan cepat untuk menyelesaikan skripsinya. Mudah tanpa perlu
pontang-panting melakukan penelitian, asal ada tulisan orang yang sesuai dengan
tema yang dia ajukan. Watak-watak ingin serba instan, serba mudah, menjadi
pendorong utama seorang mahasiswa menggunakan kata-kata orang lain ketika dia
menulis skripsi. Tentu saja, tanpa dia sebutkan siapa pemilik asli dari
kata-kata yang dia tulis, dengan tujuan, membuat pembaca dan pembimbing merasa
yakin jika kata-kata tersebut adalah buah karya pikiran mereka sendiri.
Bukan
Sistem
Ibarat pepatah, maling teriak maling. Tidak akan ada yang
mau mengaku ketika kita bertanya-tanya salah siapa, bahkan cenderung saling
tuding. Kemungkinan-kemungkinan terkait hal ini, pertama adalah kesalahan dosen, baik dosen pengajar maupun dosen
pembimbing skripsi. Munculnya plagiator dalam dunia kampus diakibatkan dosen
yang tidak mampu membawakan materi kuliahnya dengan baik, bahkan cenderung
membosankan, sehingga materi kuliah bukannya menarik bagi mahasiswa tapi justru
menjadi beban. Jika sudah menjadi beban maka orientasi mahasiswa bukan lagi
pada ilmu yang ingin didapat, melainkan beralih ke nilai. Jika sudah
berorientasi ke nilai, mahasiswa cenderung menghalalkan segala cara untuk
mendapatkan nilai bagus.
Sedangkan untuk
dosen pembimbing, mereka dianggap terlalu longgar terhadap tulisan mahasiswa.
Ketelitian mereka ketika membimbing
skripsi juga perlu dipertanyakan. Misalnya, bakal skripsi yang hanya dibaca
sekilas saja oleh pembimbing, atau yang lebih ekstrem, tanpa membacanya tetapi
langsung membubuhkan tanda tangan (di ACC). Kedua
adalah kesalahan mahasiswa. Menurut beberapa dosen, munculnya plagiarisme
adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri yang malas untuk belajar. Buktinya, masih
banyak mahasiswa yang dapat menyelesaikan skripsinya dengan ide, pikiran dan
usaha mereka sendiri. Semuanya kembali lagi pada mahasiswanya sendiri.
Ada banyak pihak yang menginginkan diadakannya sistem kelulusan
yang baru. Mereka beranggapan, sistem yang ada sekaranglah yang mendorong munculnya
plagiator. Seperti yang kita ketahui, sistem kelulusan sekarang menuntut
mahasiswa untuk menulis. Lantas, bisakah kita menyalahkan sistem ? mengingat peluang
menjamurnya plagiator di lingkungan kampus bisa saja meningkat, mengingat
kewajiban untuk mempublikasikan jurnal ilmiah bagi calon lulusan S-1 dan S-2. Sederhananya,
jika sekarang saja, pemerintah hanya mewajibkan menulis skripsi plagiarisme
sudah menjamur, bagaimana nantinya jika ada dua tugas akhir ? Menarik ketika penulis berbincang dengan Mudjahirin Thohir,
salah seorang antropolog dan dosen Undip, dia mengatakan bahwa menyalahkan
sistem hanya akan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang benar-benar lemah.
Sanksi
Tegas
Semestinya
dari pihak institut/universitas segera menerbitkan peraturan-peraturan mengikat
yang melarang mahasiswanya untuk melakukan plagiarisme. Pemberlakuan sanksi
seperti skripsi yang ketahuan plagiat digugurkan, juga dirasa perlu tegas
diberlakukan. Dalam hal ini, kita tidak membicarakan kuantitas lulusan institut/universitas bersangkutan,
melainkan pada kualitas lulusan yang dihasilkan. Skripsi bagus yang berasal dari
buah karya sendiri tentu mempunyai nilai lebih dibanding skripsi bagus yang
menjiplak karya orang lain.
Pemberian mata kuliah yang
menyasar tema plagiarisme juga mutlak untuk diberikan. Sebab, tidak sedikit
mahasiswa yang nir-pengetahuan tentang plagiarisme. Tentu saja mata kuliah
tersebut diajarkan oleh dosen yang mumpuni di bidang tulis menulis, tidak asal comot sembarang dosen untuk
mengajarkannya. Husnudzonnya penulis,
jika mahasiswa sudah paham benar tentang plagiarisme beserta efek buruknya,
terutama dihadapan Tuhan,
mereka akan berusaha untuk menghindari berbuat curang ketika menulis. Kesadaran
mahasiswa bahwa ilmu adalah kejujuran rasanya urgen untuk dibangunkan, karena apa jadinya ilmu yang suci jika
diselipi kebohongan dan kecurangan ?
*Penulis
adalah mahasiswa TBI semester 4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D