Rabu, 20 Juni 2012

Terbiasa Mencontek

Oleh : Mohammad Teguh PradHana*

             Membicarakan plagiarisme di lingkungan kampus memang tidak ada habisnya. Isu yang selalu saja terdengar nyaring, selalu diulas tanpa pernah tuntas. Banyak yang membicarakannya, mengajukan berbagai macam solusi, tapi praktek plagiarisme tetap saja masih berjalan. Sampai-sampai ada merk rokok yang sempat mengangkat tema ini di salah satu iklannya. Tentu saja bagi sebagian besar masyarakat tanah air masih teringat jelas iklan terkenal tersebut dengan slogannya, “tanya kenapa ?” 


Menurut hemat penulis, ada dua hal yang melatarbelakangi praktek plagiarisme di kalangan mahasiswa. Pertama, keterbatasan ide yang didukung rasa malas. Kedua, kebiasaan curang yang dibawa sejak pelaku masih berada di sekolah. Seperti yang sering diberitakan media-media, tidak sedikit siswa yang melakukan kecurangan saat mengerjakan soal-soal ujian, misal berita “Nyontek  dari Ponsel, Dua Siswa Ditangkap Polisi (Kompas, 16 April 2012). Sayangnya, meskipun ada banyak siswa ketika ujian nasional melakukan kecurangan, tapi tetap saja mereka bisa melenggang lulus ujian. Kenyamanan yang ditambah rasa aman inilah yang akhirnya tetap mereka bawa, hingga ke jenjang perguruan tinggi.
Disamping dua hal diatas, pelaku plagiarisme juga merasa akan lebih mudah dan cepat untuk menyelesaikan skripsinya. Mudah tanpa perlu pontang-panting melakukan penelitian, asal ada tulisan orang yang sesuai dengan tema yang dia ajukan. Watak-watak ingin serba instan, serba mudah, menjadi pendorong utama seorang mahasiswa menggunakan kata-kata orang lain ketika dia menulis skripsi. Tentu saja, tanpa dia sebutkan siapa pemilik asli dari kata-kata yang dia tulis, dengan tujuan, membuat pembaca dan pembimbing merasa yakin jika kata-kata tersebut adalah buah karya pikiran mereka sendiri.
Bukan Sistem
Ibarat pepatah, maling teriak maling. Tidak akan ada yang mau mengaku ketika kita bertanya-tanya salah siapa, bahkan cenderung saling tuding. Kemungkinan-kemungkinan terkait hal ini, pertama adalah kesalahan dosen, baik dosen pengajar maupun dosen pembimbing skripsi. Munculnya plagiator dalam dunia kampus diakibatkan dosen yang tidak mampu membawakan materi kuliahnya dengan baik, bahkan cenderung membosankan, sehingga materi kuliah bukannya menarik bagi mahasiswa tapi justru menjadi beban. Jika sudah menjadi beban maka orientasi mahasiswa bukan lagi pada ilmu yang ingin didapat, melainkan beralih ke nilai. Jika sudah berorientasi ke nilai, mahasiswa cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus.
 Sedangkan untuk dosen pembimbing, mereka dianggap terlalu longgar terhadap tulisan mahasiswa. Ketelitian mereka ketika membimbing skripsi juga perlu dipertanyakan. Misalnya, bakal skripsi yang hanya dibaca sekilas saja oleh pembimbing, atau yang lebih ekstrem, tanpa membacanya tetapi langsung membubuhkan tanda tangan (di ACC). Kedua adalah kesalahan mahasiswa. Menurut beberapa dosen, munculnya plagiarisme adalah mutlak kesalahan mahasiswa sendiri yang malas untuk belajar. Buktinya, masih banyak mahasiswa yang dapat menyelesaikan skripsinya dengan ide, pikiran dan usaha mereka sendiri. Semuanya kembali lagi pada mahasiswanya sendiri. 



Ada banyak pihak yang menginginkan diadakannya sistem kelulusan yang baru. Mereka beranggapan, sistem yang ada sekaranglah yang mendorong munculnya plagiator. Seperti yang kita ketahui, sistem kelulusan sekarang menuntut mahasiswa untuk menulis. Lantas, bisakah kita menyalahkan sistem ? mengingat peluang menjamurnya plagiator di lingkungan kampus bisa saja meningkat, mengingat kewajiban untuk mempublikasikan jurnal ilmiah bagi calon lulusan S-1 dan S-2. Sederhananya, jika sekarang saja, pemerintah hanya mewajibkan menulis skripsi plagiarisme sudah menjamur, bagaimana nantinya jika ada dua tugas akhir ? Menarik ketika penulis berbincang dengan Mudjahirin Thohir, salah seorang antropolog dan dosen Undip, dia mengatakan bahwa menyalahkan sistem hanya akan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang benar-benar lemah.
Sanksi Tegas
            Semestinya dari pihak institut/universitas segera menerbitkan peraturan-peraturan mengikat yang melarang mahasiswanya untuk melakukan plagiarisme. Pemberlakuan sanksi seperti skripsi yang ketahuan plagiat digugurkan, juga dirasa perlu tegas diberlakukan. Dalam hal ini, kita tidak membicarakan kuantitas  lulusan institut/universitas bersangkutan, melainkan pada kualitas lulusan yang dihasilkan. Skripsi bagus yang berasal dari buah karya sendiri tentu mempunyai nilai lebih dibanding skripsi bagus yang menjiplak karya orang lain.
            Pemberian mata kuliah yang menyasar tema plagiarisme juga mutlak untuk diberikan. Sebab, tidak sedikit mahasiswa yang nir-pengetahuan tentang plagiarisme. Tentu saja mata kuliah tersebut diajarkan oleh dosen yang mumpuni di bidang tulis menulis, tidak asal comot sembarang dosen untuk mengajarkannya. Husnudzonnya penulis, jika mahasiswa sudah paham benar tentang plagiarisme beserta efek buruknya, terutama dihadapan Tuhan, mereka akan berusaha untuk menghindari berbuat curang ketika menulis. Kesadaran mahasiswa bahwa ilmu adalah kejujuran rasanya urgen untuk dibangunkan, karena apa jadinya ilmu yang suci jika diselipi kebohongan dan kecurangan ?
*Penulis adalah mahasiswa TBI semester 4


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D