Lega, itu perasaan yang dirasa seluruh murid-murid
sekolah ketika mendapati namanya tertera di pengumuman dengan label “lulus”.
Kelegaan yang terasa
sangat pantas untuk mereka rayakan, dengan konvoi atau coret-coret seragam sekolah
misalnya. Lega setelah harus menjalani tiga hari penuh kewas-wasan, lega
setelah tahu kesempatan untuk menapaki masa depan sudah terbuka. Lega setelah
bisa dipastikan tidak lama lagi dia akan mendapatkan ijazah kelulusan. Lega karena benar-benar bersyukur sudah meraih predikat
lulus, atau mungkin lega karena ketika ujian tidak ketahuan mencontek.
Sayangnya, untuk mendapatkan kelegaan itu, tidak sedikit
dari pihak murid maupun guru, yang melakukan kecurangan. Tidak terhitung lagi
berita-berita yang memuat bentuk kecurangan beberapa sekolah, dengan alasan prestige sekolah yang akan terangkat,
mereka menghalalkan segala cara agar tingkat kelulusan sekolah itu mencapai
100% atau setidaknya mendekati angka itu. Sekolah yang mengetatkan ujianpun
biasanya terkesan lebay dengan menempatkan anggota polisi, demi alasan keamanan
lembar jawaban. Hal yang dirasa wajar ketika semua murid menjadi sangat lega
ketika masa ujian berakhir.
Entah karena sudah terbiasa untuk melakukan kecurangan menjelang kelulusan atau memang
sudah jiwanya jiwa pencontek, kelulusan di tingkat perguruan tinggipun tidak
jauh berbeda dengan kelulusan di tingkat sekolah. Kecurangan yang terjadi memang bukan
contek-mencontek antar mahasiswa dan sejenisnya, melainkan melakukan
plagiarisme skripsi. Okelah, sah-sah saja jika ada yang mengatakan tidak semua
mahasiswa yang melakukan plagiarisme, saya sendiri tidak tahu berapa jumlah
persisnya lulusan-lulusan perguruan tinggi yang melakukan plagiarisme. Tapi
melihat berita-berita yang mengabarkan tentang segelintir orang yang tertangkap
tangan melakukan plagiarisme, membuat saya bertanya-tanya dan heran. Kenapa
bisa sampai seperti itu ?
Salah siapa ?
Berbicara siapa yang salah dalam kasus ini, tentu tidak
akan ada yang mau mengaku salah, bahkan cenderung saling tuding. Ada
banyak opini terkait hal ini, pertama
adalah kesalahan dosen. Munculnya
plagiator dalam dunia akademisi diakibatkan dosen yang tidak mampu membawakan
materi kuliahnya dengan baik, sehingga materi kuliah bukannya menarik bagi
mahasiswa tapi justru menjadi beban. Jika sudah menjadi beban maka orientasi
mahasiswa bukan lagi pada ilmu yang ingin didapat, melainkan beralih ke nilai.
Jika sudah berorientasi ke nilai, mahasiswa cenderung menghalalkan segala cara
untuk mendapatkan nilai bagus. Kedua adalah kesalahan mahasiswa. Dosen-dosen yang merasa tidak terima dirinya disalahkan atas munculnya plagiator-plagiator,
mengatakan bahwa hal itu mutlak kesalahan si pelaku sendiri yang malas menggali
dan sebagainya. Dengan alasan, nyatanya masih ada banyak mahasiswa yang
menyelesaikan skripsinya dengan ide, pikiran dan usaha mereka sendiri. Semuanya
kembali lagi pada mahasiswanya sendiri. Ketiga, salah dosen
pembimbing. Mereka dianggap terlalu permisif terhadap tulisan mahasiswa,
ketelitian mereka ketika bimbingan skripsi juga perlu dipertanyakan.
Bisakah
kita menyalahkan sistem ? munculnya
plagiator disebabkan sistem kelulusan yang mengharuskan mahasiswa untuk
menulis. Sedangkan masalah utama yang dihadapi mahasiswa ketika menulis adalah
keterbatasan ide. Dari keterbatasan inilah akhirnya muncul keinginan untuk
mempermudah jalan kelulusan dengan meng-copy
tulisan-tulisan yang dikira pas dengan tema yang ingin dia angkat. Peluang menjamurnya plagiator di
lingkungan kampus bahkan bisa meningkat mengingat kewajiban untuk
mempublikasikan jurnal ilmiah bagi lulusan S-1. Menarik ketika saya berbincang
dengan Mudjahirin Thohir, salah seorang antropolog dosen Undip, dia mengatakan
bahwa menyalahkan sistem hanya akan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang
benar-benar lemah. Lagipula, jikapun diberlakukan sistem kelulusan yang baru,
apa akan menjamin ketiadaan pelaku plagiarisme ?
Peran
Institut
Mencegah lebih
baik daripada mengobati. Sebelum
permasalahan plagiarisme ini berubah menjadi sangat pelik, ada baiknya institut
atau universitas di Indonesia segera membuat langkah preventif. Pihak institut
harusnya tidak melulu mengapungkan alasan tergantung pada mahasiswanya, mereka
juga harus bisa mengambil peran protagonis dalam menghentikan perilaku
meresahkan ini. Langkah yang bisa diambil, seperti yang pernah disampaikan oleh
salah stau calon rektor IAIN, Navis Junaila, adalah dengan meningkatkan mutu
dosen, jadi tidak ada lagi yang akan menyalahkan dosen jika mutu mereka sudah
lebih baik. Untuk menyasar mahasiswa, mungkin ada baiknya diberikan mata kuliah
khusus yang mengupas tuntas permasalahan plagiarisme, tentu diajarkan oleh
dosen yang mumpuni pula di bidang tersebut. Pemberlakuan sanksi untuk
plagiatorpun bisa jadi dibutuhkan untuk memberikan efek jera. Bagi mahasiswa
sendiri, sangat mutlak untuk kembali mengingat bahwa ilmu adalah kejujuran. Apa
jadinya ilmu jika disisipi kebohongan dan kecurangan ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D