Jumat, 08 Juni 2012

Plagiarisme, salah siapa ?

Lega, itu perasaan yang dirasa seluruh murid-murid sekolah ketika mendapati namanya tertera di pengumuman dengan label “lulus”. Kelegaan yang terasa sangat pantas untuk mereka rayakan, dengan konvoi atau coret-coret seragam sekolah misalnya. Lega setelah harus menjalani tiga hari penuh kewas-wasan, lega setelah tahu kesempatan untuk menapaki masa depan sudah terbuka. Lega setelah bisa dipastikan tidak lama lagi dia akan mendapatkan ijazah kelulusan. Lega karena benar-benar bersyukur sudah meraih predikat lulus, atau mungkin lega karena ketika ujian tidak ketahuan mencontek.
Sayangnya, untuk mendapatkan kelegaan itu, tidak sedikit dari pihak murid maupun guru, yang melakukan kecurangan. Tidak terhitung lagi berita-berita yang memuat bentuk kecurangan beberapa sekolah, dengan alasan prestige sekolah yang akan terangkat, mereka menghalalkan segala cara agar tingkat kelulusan sekolah itu mencapai 100% atau setidaknya mendekati angka itu. Sekolah yang mengetatkan ujianpun biasanya terkesan lebay dengan menempatkan anggota polisi, demi alasan keamanan lembar jawaban. Hal yang dirasa wajar ketika semua murid menjadi sangat lega ketika masa ujian berakhir.


Entah karena sudah terbiasa untuk melakukan kecurangan menjelang kelulusan atau memang sudah jiwanya jiwa pencontek, kelulusan di tingkat perguruan tinggipun tidak jauh berbeda dengan kelulusan di tingkat sekolah. Kecurangan yang terjadi memang bukan contek-mencontek antar mahasiswa dan sejenisnya, melainkan melakukan plagiarisme skripsi. Okelah, sah-sah saja jika ada yang mengatakan tidak semua mahasiswa yang melakukan plagiarisme, saya sendiri tidak tahu berapa jumlah persisnya lulusan-lulusan perguruan tinggi yang melakukan plagiarisme. Tapi melihat berita-berita yang mengabarkan tentang segelintir orang yang tertangkap tangan melakukan plagiarisme, membuat saya bertanya-tanya dan heran. Kenapa bisa sampai seperti itu ?
Salah siapa ?
Berbicara siapa yang salah dalam kasus ini, tentu tidak akan ada yang mau mengaku salah, bahkan cenderung saling tuding. Ada banyak opini terkait hal ini, pertama adalah kesalahan dosen. Munculnya plagiator dalam dunia akademisi diakibatkan dosen yang tidak mampu membawakan materi kuliahnya dengan baik, sehingga materi kuliah bukannya menarik bagi mahasiswa tapi justru menjadi beban. Jika sudah menjadi beban maka orientasi mahasiswa bukan lagi pada ilmu yang ingin didapat, melainkan beralih ke nilai. Jika sudah berorientasi ke nilai, mahasiswa cenderung menghalalkan segala cara untuk mendapatkan nilai bagus. Kedua adalah kesalahan mahasiswa. Dosen-dosen yang merasa tidak terima dirinya disalahkan atas munculnya plagiator-plagiator, mengatakan bahwa hal itu mutlak kesalahan si pelaku sendiri yang malas menggali dan sebagainya. Dengan alasan, nyatanya masih ada banyak mahasiswa yang menyelesaikan skripsinya dengan ide, pikiran dan usaha mereka sendiri. Semuanya kembali lagi pada mahasiswanya sendiri. Ketiga, salah dosen pembimbing. Mereka dianggap terlalu permisif terhadap tulisan mahasiswa, ketelitian mereka ketika bimbingan skripsi juga perlu dipertanyakan.

Bisakah kita menyalahkan sistem ? munculnya plagiator disebabkan sistem kelulusan yang mengharuskan mahasiswa untuk menulis. Sedangkan masalah utama yang dihadapi mahasiswa ketika menulis adalah keterbatasan ide. Dari keterbatasan inilah akhirnya muncul keinginan untuk mempermudah jalan kelulusan dengan meng-copy tulisan-tulisan yang dikira pas dengan tema yang ingin dia angkat. Peluang menjamurnya plagiator di lingkungan kampus bahkan bisa meningkat mengingat kewajiban untuk mempublikasikan jurnal ilmiah bagi lulusan S-1. Menarik ketika saya berbincang dengan Mudjahirin Thohir, salah seorang antropolog dosen Undip, dia mengatakan bahwa menyalahkan sistem hanya akan menunjukkan bahwa kita adalah orang yang benar-benar lemah. Lagipula, jikapun diberlakukan sistem kelulusan yang baru, apa akan menjamin ketiadaan pelaku plagiarisme ?

Peran Institut
            Mencegah lebih baik daripada mengobati. Sebelum permasalahan plagiarisme ini berubah menjadi sangat pelik, ada baiknya institut atau universitas di Indonesia segera membuat langkah preventif. Pihak institut harusnya tidak melulu mengapungkan alasan tergantung pada mahasiswanya, mereka juga harus bisa mengambil peran protagonis dalam menghentikan perilaku meresahkan ini. Langkah yang bisa diambil, seperti yang pernah disampaikan oleh salah stau calon rektor IAIN, Navis Junaila, adalah dengan meningkatkan mutu dosen, jadi tidak ada lagi yang akan menyalahkan dosen jika mutu mereka sudah lebih baik. Untuk menyasar mahasiswa, mungkin ada baiknya diberikan mata kuliah khusus yang mengupas tuntas permasalahan plagiarisme, tentu diajarkan oleh dosen yang mumpuni pula di bidang tersebut. Pemberlakuan sanksi untuk plagiatorpun bisa jadi dibutuhkan untuk memberikan efek jera. Bagi mahasiswa sendiri, sangat mutlak untuk kembali mengingat bahwa ilmu adalah kejujuran. Apa jadinya ilmu jika disisipi kebohongan dan kecurangan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D