![]() |
Bersama guru-guru Mab'uts dari Mesir. |
Aku
sering menerawang jauh ke beberapa tahun belakang. Apa-apa saja yang sudah aku
lakukan. Apa-apa saja yang harusnya aku lakukan tapi tidak. Hal-hal apa saja
yang harusnya tidak aku lakukan tapi dulu aku lakukan. Ya, ketika aku
memikirkan masa lalu memang kebanyakan berakhir dengan penyesalan. Kali ini aku
sedang memikirkan aku disaat umur 16 tahun.
Kalian
tahu Martin Odegard? Dia adalah bocah berumur 16 tahun asal Norwegia yang
berhasil melakukan debut untuk tim sebesar Real Madrid. Lalu di Italia, ada
Gianluigi Donnarumma. Kiper berusia 16 tahun yang berhasil melakukan debut
bermain untuk Ac Milan. Pindah ke Jepang. Ada Uzumaki Naruto yang berhasil
mengalahkan seluruh Pain sendirian di usianya yang ke 16. Iya, SENDIRIAN.!
Padahal Kakashi-sensei saja sampai hampir mati dan Ero-Sennin a.k.a Jiraiya pun
terbunuh ketika menghadapi Pain. Naruto memang luar biasa. *salut* Sekarang kita
pindah ke Indonesia, ada aku, M Teguh Pradhana. Sewaktu aku berumur 16 tahun,
Aku ............ nah ini, aku ngapain ya?
Aku
umur 16 tahun, berarti saat itu adalah masa-masa aku berada di Kelas
Matrikulasi di Madrasah Aliyah Keagamaan (MAK) yang berada di lingkungan Pondok
Pesantren Al-Hikmah 2 Benda Sirampog Brebes. Madrasah Aliyah kalau caranya
kalian ya sama dengan Sekolah Menengah Atas atau biasa disingkat SMA. Bedanya,
kalo kalian sekolah 3 tahun, aku 4 tahun karena ada Kelas Matrikulasinya.
Ada
dua poin penyesalan jika melihat kondisiku sekarang yang ingin aku ulangi dan
ubah alur ceritanya. Pertama, aku ingin di umur 16 itu aku masuk SMA Negeri 1
saja ! Ya, terkadang (ini terkadang yaa) aku menyesal lebih memilih jenjang
pendidikan di ponpes. Coba kalau waktu itu aku sekolah di SMANSA atau di SMA 2,
lulus tahun 2009, waktu itu orang tua masih dalam keadaan “mampu” hingga aku bisa
kuliah di Universitas Negeri yang sama dengan teman-teman seangkatan, lulus di
tahun yang sama dengan mereka, mungkin sekarang aku sudah bisa secara rutin
memberikan bulanan jutaan ke orang tua. Mungkin lho ya, sekali lagi ini
mungkin. Kalau mau tahu kondisiku saat ini, klik ini dan itu.
Di pondok, aku lulus 2010, telat 1 tahun ketimbang teman-teman sebaya. Dan sayangnya, di tahun itu pula kontrak kerja ayah saya habis, hingga aku memilih kuliah di Universitas yang murah meriah (700 ribu per semester). Pola pikir dan mentalku menjadi kacau disini. Entahlah aku ngga bisa menggambarkan. Dan bukan berarti aku menganggap jelek institusiku. Hanya saja, disini aku merasa tidak berkembang.
Di pondok, aku lulus 2010, telat 1 tahun ketimbang teman-teman sebaya. Dan sayangnya, di tahun itu pula kontrak kerja ayah saya habis, hingga aku memilih kuliah di Universitas yang murah meriah (700 ribu per semester). Pola pikir dan mentalku menjadi kacau disini. Entahlah aku ngga bisa menggambarkan. Dan bukan berarti aku menganggap jelek institusiku. Hanya saja, disini aku merasa tidak berkembang.
Poin
penyesalan kedua, kenapa waktu 4 tahun mondok tidak aku gunakan dengan
sebaik-baiknya? Butuh waktu 2 tahun bagiku untuk memahami apa itu kalam, apa
itu nahwu dan setelah 4 tahun aku masih belum begitu mengerti apa itu shorof. Kenapa
waktu masih mondok nggak menghafal al-Quran? Lalu ketika lulus lanjut kuliah di
Mesir? Kenapa ketika masih mondok tidak .... bla ... bla... bla masih banyak
lainnya. Banyak.... banyak sekali yang ingin aku lakukan, aku maksimalkan dan
ubah di 4 tahun sekolah MAK.
Wujud
dan perangaiku sekarang memang sama sekali tidak mencerminkan alumni pondok
pesantren. Akhlak? Don’t make me laugh. Menyedihkan. Aku tahu
teori-teori keridhoan Allah, tapi tetap tidak bisa mengamalkannya. Aku tahu
teori-teori dosa tapi masih tetap melakukannya. Dan sayangnya, aku belum begitu
mengerti tentang konsep taubat nasuha, tobat yang bisa membuatku berhenti
melakukan dosa-dosa. Lalu apa bedanya aku dengan lulusan-lulusan sekolah
negeri? Tidak ada. Tidak ada sama sekali. Bahkan ibadahku cenderung kalah dari
... sebut saja Oncom yang notabene adalah lulusan SMA Negeri.
Semua
penyesalan ini berawal dari memilih. Pilihanku sendiri untuk sekolah di MAK
al-Hikmah 2. Bahkan, dulu aku sempat bersitegang dengan orang tua karena
pilihanku ini. Dan dari pilihan itulah, semuanya terlahir menjadi tidak beres. Namun, semua kembali pada satu teori; semua ada nilai positif dan negatifnya. Termasuk pilihanku untuk masuk menimba ilmu di Pondok Pesantren tadi.
![]() |
Bersama Abah Muchlas Hasyim |
Semoga
ada hikmahnya bagi yang membaca dan bagi alumni MAK / ponpes, tolong jangan
salah paham. Baca dulu secara keseluruhan, pahami keadaanku dan pahami
konteksku. Wassalam ‘ala man ittaba’al huda........... *tulisanoranggenah*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D