sketsa sosok Andini |
Dini,
begitu aku memanggilnya. Nama lengkap gadis itu Putri Andini. Katanya sih,
orang-orang rumah memanggilnya Putri. Dia asli berasal dari kota ini, hal
itulah yang memicu banyak teman-teman untuk bertanya, “Kenapa kuliah disini?
Nggak di Unnes saja?” for your information, kampusku memang kurang
begitu terkenal di kalangan warga Semarang kota. Kalah populer ketimbang Unnes,
Undip atau Unissula. Saya sering kenalan dengan mahasiswa kampus lain, ketika
aku sebut nama IAIN Walisongo, kebanyakan dari mereka hanya jawab, “oooh, nggak
tahu dimana...” atau kalo ketemu mahasiwa yang sok ngerti jawab, “oooh IAIN,,,
Jogja ya berarti?” ha... ha... ha.... *ketawa sinis*. Jadi wajar kalo Dini yang
notabene adalah anak Semarang asli kuliah di IAIN (sekarang UIN) ditanya,
“kenapa nggak kuliah di Unnes saja?” dia hanya menjawab, “nggak keterima kok
disitu he he he...”
Dini
bukanlah anggota kelasku yang tercantik. Bahkan cenderung tidak populer.
Anggota kelas cewek yang sering diperbincangkan oleh cowok-cowok ketika
berkumpul adalah; 1. Puji (of course) 2. Zianur 3. Khasanah 4. Usi dan (well) 5.
Haryanti. Itu adalah list cewek yang diperbincangkan karena parasnya, sedangkan
kalo dari kepintaran maka akan tersebut nama Solekhah, Minnatil, Izza dan
Miftahul. Dini? Awal-awal semester dia benar-benar “tidak ada”. Awal-awal
kuliah itu, aku masih sangat akrab sama Zianur. Pergi kemanapun selalu sama dia,
cewek yang menjadi salah satu bahan obrolan para lelaki di kelasku.
***
Hari
sudah sore, sekitar jam 4, waktu pulang jam terakhir hari itu. Aku lihat dia
berjalan sendirian. Oh ya, I tell you something, waktu awal-awal kuliah,
aku benar-benar sosok yang berteman dan cengengesan dengan siapapun;
cowok, cewek, dari sejurusan, beda jurusan sampai beda angkatan. Makanya, di
kalangan mahasiswa angkatan 2010 aku lumayan cukup banyak yang kenal di kampus.
Kembali
ke sore itu. Melihat Dini jalan sendirian, aku samperin dia. Disitulah obrolan
ketiga dan obrolan yang membuat kita akrab terjadi.
“Din
...!” Aku panggil dia
“hey,
..” dia menengok
“kok
sendirian?”
Begitulah,
dia bilang sedang menunggu Anto yang mau nganter dia sampai simpang lima.
Setelah basa-basi sedikit, aku putuskan untuk menemani dia nunggu Ari di taman.
Saat itu, aku tahu kalau dia pacaran dengan orang yang bernama Qubil. Anak
pondok dan lebih muda dari Dini. Dia ceritakan secara runtut kenapa dia bisa
jadian sama Qubil, apa yang dia sukai, dia harus LDR dengannya dan segalanya.
Sore itu, pertama kalinya aku melihat hal yang sangat aku sukai dari dia, merajuk.
.
“oh ya, kamu kan juga dari pondok tho,
Guh?” tanya Dini
“He.eem,, betul ... hehehe”
“Berarti,
bisa qiro juga dong? Aku tho sering minta Qubil gitu buat qiro depan
aku...”
“hahaha,
iya aku memang anak pondok tapi aku ngga bisa qiro, soalnya memang ngga
belajar....”
“ah,
bohong... ayo dong bacain ayat quran dilagu-lagu gitu, pasti bisa..”
“serius,
aku ngga bisa ....”
bukan
bermaksud merendah tapi aku memang nggak bisa dan mungkin nggak berbakat. Lagian
waktu di Pondok aku nggak gitu respek sama orang-orang yang bersuara bagus.
“aku
ngga percaya, cepet ah, aku maksa nih..”
Hahaha,
itulah, aku suka sekali setiap dia bersikap begitu. Setelah dia merajuk begitu,
akupun membaca ta’awwudz tapi kemudian tertawa dan bilang ke dia kalau
akubetul-betul ngga bisa. Untungnya sebelum dia merajuk dan memaksa lebih jauh,
orang yang mau dia bonceng datang. Yaps, Anto datang dan mengakhiri obrolan
keduaku dengan Dini.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D