Selasa, 06 Maret 2012

Tragedi dalam Sepakbola



          Masih segar di ingatan kita, supporter yang menonton di San siro meneriakan kata falsato ! falsato ! yang berarti palsu. Teriakan yang ditujukan untuk wasit Tagliavento beserta asistennya itu membahana ketika laga grande partita antara Ac Milan vs Juventus. Penyebab dari munculnya teriakan itu tentu akibat dianulirnya gol Sulley Muntari (Ac Milan) dan gol Alessandro Matri di pihak Juve.

          Akibat dari ulah wasit yang merugikan kedua pihak, muncul berbagai macam reaksi. Pihak Ac Milan, baik pemain, manajemen sampai tiffoso menunjukkan ketidakpuasan yang amat sangat. Juventus sendiri mengapungkan dianulirnya gol Matri, yang jika disahkan akan membawa Juve unggul atas Milan. Reaksi paling kentara tentu ide untuk menggunakan teknologi garis gawang,-yang sudah digunakan di olah raga Tenis. Salah satu yang menginginkan digunakannya teknologi ini adalah, Novac Djokovic. Petenis nomor satu dunia ini merasa heran kenapa FIFA belum juga menggunakan teknologi garis gawang untuk olah raga paling digemari di dunia itu. Sedangkan, mereka yang menganggap sepak bola akan lebih menarik dengan segala kontrovesinya, menganggap tidak perlu menggunakan teknologi garis gawang, cukup menambahkan dua wasit tambahan di belakang masing-masing gawang.

          Efek domino dari kejadian itu jelas ada. Giorgio Chiellini hampir baku hantam dengan Ambrosini. Galliani bersitegang dengan Conte di lorong menuju ruang ganti. Tiffosi Ac Milan kembali mengungkit kasus calciopolli yang melibatkan Juve enam tahun silam, menganggap kalau-kalau ada skenario Calciopolli jilid dua. Wasit sendiri menjadi terbebani ketika bertugas memimpin pertandingan karena kinerja yang terus disorot. Il Capitano Buffon menambah panas situasi dengan mengatakan, jika saja dia tahu bola sundulan Muntari sudah melewati garis gawang, dia tetap tidak akan membantu wasit. Komentar ini jelas saja mengundang kritikan keras, salah satunya dari presiden UEFA, Michel Platini, yang menganggap Buffon sudah melewati batas dan tidak sesuai semangat sportifitas olah raga. Penyerang Ac Milan, Zlatan Ibrahimovic malah berkata bahwa kejadian itu adalah sebuah tragedi dalam sepakbola.

          Namun, Buffon mendapatkan banyak pembelaan. Seperti yang dikatakan portiere Genoa, Sebastian Frey, bahwa Buffon tidak salah, karena seorang pemain dengan loyalotas tinggi tidak mungkin melakukan sesuatu yang merugikan timnya. Eks diffensori Inter Milan, Marco Materrazi juga ikut berkomentar soal ini, dia membandingkannya dengan gol Robinho. Sayang, penulis tidak mengetahui dia menyoal gol Robinho yang mana.
          Sepak bola, memang adalah olah raga paling digemari di seantero bumi. Hampir semua orang menyukainya, bahkan tidak sedikit yang menganggap sepak bola adalah agama mereka. Tidak hanya melalui keindahan permainan, lengkap dengan intrik-intriknya, sepak bola menjadi menarik untuk ditonton, karena dengan intrik, kontroversi, emosi penonton dalam menyaksikan menjadi ikkut terlibat. Sayangnya, intrik dan kontrovesi yang terjadi di persepak bolaan Indonesia jauh dari kata menarik. Malah bisa dikatakan memalukan.

          Kekalahan 0-10 timnas saat melawat ke kandang Bahrain dalam penyisihan babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia Zona Asia, tidak saja memalukan tapi juga mencoreng harga diri bangsa, setidaknya seperti itulah yang dikatakan eks anggota Komite Eksekutif PSSI, Tony Aprilliani. Kekalahan yang tidak masuk akal. Itulah yang ada di setiap benak rakyat Indonesia. Sama seperti yang terjadi dengan pertandingan Ac Milan vs Juventus, pertandingan Bahrain vs Indonesia pun menimbulkan banyak reaksi. PSSI sebagai otoritas tertinggi sepak bola Indonesia, melalui ketua umumnya Djohar Arifin Husin, merasa kepemimpinan wasit asal Lebanon, Andre El Hadad tidak becus dan banyak kejanggalan. Kartu merah untuk Samsidar di menit awal, empat kali memberikan penalti utnuk Bahrain, dengan kata lain Djohar beranggapan wasit berat sebelah memihak tuan rumah yang saat itu membutuhkan margin 9 gol agar bisa lolos ke putaran selanjutnya Zona Asia. Berbeda dengan opini Djohar yang menyalahkan wasit, eks pelatih Deltras Sidoarjo, M. Zein Alhadad menganggap kekalahan timnas lebih karena PSSI memaksakan coach Aji Santoso untuk membawa pemain-pemain kacangan. Pendapat ini didukung sepenuhnya oleh pemain-pemain buangan, salah satunya Zulkifli Sukur, bek Persib Bandung yang juga merupakan langganan Timnas. Dia menuturkan, jika saja PSSI tidak ngeyel melarang pemain yang berlaga di Liga Super Indonesia untuk membela Timnas, pasti rekor kekalahan terburuk Indonesia sepanjang masa ini tidak akan terjadi.

          PSSI lewat ulahnya memecah belah persepak bolaan Indonesia, demi kepentingan kubu jenggala memang adalah sebuah tragedi. Menciptakan kloning-kloning klub, pengprov, melanggar peraturan organisasi yang tertuang di Statuta, menyelenggarakan kompetisi IPL dengan peserta mayoritas klub kemarin sore dan yang paling fatal tentu melarang pemain klub ISL untuk membela Timnas secara sepihak. Sebab, setelah ditelusuri ternyata FIFA tidak melarang pemain ISL untuk membela timnas, melainkan itu adalah keputusan PSSI sendiri !!! Mengahadapi ancaman FIFA yang akan membekukan keanggotaan Indonesia dari kancah persepakbolaan internasional, tragedi ini mesti cepat diselesaikan. Nampaknya, jika PSSI tidak segera melakukan rekonsiliasi dengan Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) atau syukur-syukur Djohar Arifin bersedia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketum PSSI, berarti PSSI memang berharap Indonesia terkena sanksi dari FIFA. Tujuannya jelas, mematikan semua potensi bisnis dari kubu Bakrie. Artinya, pemain-pemain muda yang tengah ditempa di Uruguay harus angkat koper, Syamsir Alam dkk yang berada di CS Vise Belgia tidak dapat bermain begitu pula dengan satu-satunya orang Indonesia di Liga Spanyo, Arthur Irawan. Tentu korban paling kasihan adalah produk-produk naturalisasi karya rezim PSSI sebelum ini, yang sudah rela melepas kewarganegaraan Negara tempat bermainnya. Riweuh pisan !




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D