Minggu
pagi, seperti biasa di Masjid di tempatku selalu mengadakan
pengajian. Kesempatan pagi kemarin yang mengisi adalah, sebut saja, Pak Saef. Dalam
ceramahnya beliau menyampaikan tentang orang-orang yang InsyaAllah akan masuk surga.
Sampai di kata-kata Rojulun Mu’allaqun
Bilmasjidi , laki-laki yang hatinya selalu tertambat pada masjid, beliau
menyampaikan dua hal yang sangat aku sayangkan keluar dari perkataan seseorang
yang sudah dianggap kyai oleh masyarakat banyak. Pertama, beliau menyanjung dan
memujiku. Kenapa aku sayangkan ? tidakkah beliau tahu, hadits, “Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan
menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka ? hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad itu bukannya hadits masyhur ? atau paling tidak
beliau paham tentang “memuji orang di
depan umum, sama saja dengan mencaci makinya”. Masa iya ndagk paham ? kalau memang tidak paham,
kenapa berani ceramah ? menasehati orang-orang ?. Heran aku. Kedua, ini malah
membuat aku dengan tetangga bernama Bapak Hadi tertawa. Beliau menyampaikan begini kira-kira, “Alhamdulillah
sekarang jamaah shalat maghrib bertambah banyak dan Isya’ sudah bertambah
menjadi satu shoff. Untuk shalat Dzuhur dan Ashar juga bertambah.” Pak Hadi
berbisik padaku, “kayak dia pernah shalat Dzuhur, Ashar saja disini” dia pun
terkekeh selesai mengatakan itu. Sedang aku menangkap sesuatu yang lain, yang
akan aku sampaikan setelah ini. Tidak hanya dua perkara itu saja yang membuat
aku heran sama “kyai” ini. Sebelum-sebelumnya juga sering berceramah tentang haqqul jar, hak tetangga. Bahwa kita
harus rukun dengan para tetangga, harus begini, begitu. Sayangnya, di kehidupan
nyata, beliau sendiri bahkan mengabaikan hal itu. Sampai-sampai si tetangga
mengeluh, “lebih baik pindah saja, disini sudah tidak punya teman lagi” (aku
tahu keluhan ini lewat pembantunya). Ketika si tetangga itu menjadi imam
shalatpun, beliau ogah untuk menjadi
makmum. Nah, sesuatu lain apa yang aku tangkap ?
Pernahkah kalian dengar, perkataan Sayyidina Ali, r.A yang
berbunyi, “lihatlah apa yang dikatakan,
jangan melihat siapa yang mengatakan”. Menurut hemat saya, maqolah itu lagi
gak berlaku di jaman ini. Nyatanya,
orang-orang lebih menuruti omongan orang yang punya nama, sekalipun itu tidak
sinkron dengan realita, dibandingkan omongan orang udik tanpa gelar, sekalipun
itu sangat baik. Jadi jaman sekarang yang berlaku adalah, “lihat siapa yang mengatakan, jangan lihat apa yang dikatakan !”.
Seandainya saja aku adalah orang yang punya kuasa, aku ingin mengganti atau
menciptakan saja sekalian, sebuah maqolah baru, “dengar apa yang dikatakan, lalu perhatikan apa yang dilakukan” atau
sekalian saja, “jangan dengar apa yang
dikatakan, lihat apa yang dilakukan”. Mengucapkan memang mudah, sangat teramat
mudah. Aku bisa dengan entengnya berkata pada temanku kalau shalat lima waktu
itu fardhu ‘ain , tapi aku sendiri angut-anguttan dalam mendirikannya atau
sekedar melaksanakannya saja sudah sulit minta ampun. Allah tahu bahwa manusia
mudah berbicara, mudah nyeplos, akhirnya sebagai tameng Allah lewat Rasul-Nya,
mengatakan bahwa siapa banyak diam maka dia akan selamat. Artinya, siapa yang
terlalu banyak bicara dia tidak selamat. Nah lho, sampe segitunya kan ?
Terkekehnya pak Hadi atas pernyataan pak Kyai itu tentu
mengindikasikan, bahwa penting untuk menjaga lisan kita untuk tetap sinkron
dengan perbuatan kita. Jika dirasa susah, maka jalan amannya adalah dengan
tidak mengatakannya kepada khalayak umum. Apalagi yang mengatakannya adalah
orang yang sudah kadung dianggap sesepuh desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D