Senin, 05 Maret 2012

Sinkronisasi Ucapan dan Perbuatan


          Minggu pagi, seperti biasa di Masjid di tempatku selalu mengadakan pengajian. Kesempatan pagi kemarin yang mengisi adalah, sebut saja, Pak Saef. Dalam ceramahnya beliau menyampaikan tentang orang-orang yang InsyaAllah akan masuk surga. Sampai di kata-kata Rojulun Mu’allaqun Bilmasjidi , laki-laki yang hatinya selalu tertambat pada masjid, beliau menyampaikan dua hal yang sangat aku sayangkan keluar dari perkataan seseorang yang sudah dianggap kyai oleh masyarakat banyak. Pertama, beliau menyanjung dan memujiku. Kenapa aku sayangkan ? tidakkah beliau tahu, hadits, “Bila kamu melihat orang-orang yang sedang memuji-muji dan menyanjung-nyanjung maka taburkanlah pasir ke wajah-wajah mereka ? hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad itu bukannya hadits masyhur ? atau paling tidak beliau paham tentang “memuji orang di depan umum, sama saja dengan mencaci makinya”. Masa iya ndagk paham ? kalau memang tidak paham, kenapa berani ceramah ? menasehati orang-orang ?. Heran aku. Kedua, ini malah membuat aku dengan tetangga bernama Bapak Hadi tertawa.  Beliau menyampaikan begini kira-kira, “Alhamdulillah sekarang jamaah shalat maghrib bertambah banyak dan Isya’ sudah bertambah menjadi satu shoff. Untuk shalat Dzuhur dan Ashar juga bertambah.” Pak Hadi berbisik padaku, “kayak dia pernah shalat Dzuhur, Ashar saja disini” dia pun terkekeh selesai mengatakan itu. Sedang aku menangkap sesuatu yang lain, yang akan aku sampaikan setelah ini. Tidak hanya dua perkara itu saja yang membuat aku heran sama “kyai” ini. Sebelum-sebelumnya juga sering berceramah tentang haqqul jar, hak tetangga. Bahwa kita harus rukun dengan para tetangga, harus begini, begitu. Sayangnya, di kehidupan nyata, beliau sendiri bahkan mengabaikan hal itu. Sampai-sampai si tetangga mengeluh, “lebih baik pindah saja, disini sudah tidak punya teman lagi” (aku tahu keluhan ini lewat pembantunya). Ketika si tetangga itu menjadi imam shalatpun, beliau ogah untuk menjadi makmum. Nah, sesuatu lain apa yang aku tangkap ?
          Pernahkah kalian dengar, perkataan Sayyidina Ali, r.A yang berbunyi, “lihatlah apa yang dikatakan, jangan melihat siapa yang mengatakan”. Menurut hemat saya, maqolah itu lagi gak berlaku di jaman ini. Nyatanya, orang-orang lebih menuruti omongan orang yang punya nama, sekalipun itu tidak sinkron dengan realita, dibandingkan omongan orang udik tanpa gelar, sekalipun itu sangat baik. Jadi jaman sekarang yang berlaku adalah, “lihat siapa yang mengatakan, jangan lihat apa yang dikatakan !”. Seandainya saja aku adalah orang yang punya kuasa, aku ingin mengganti atau menciptakan saja sekalian, sebuah maqolah baru, “dengar apa yang dikatakan, lalu perhatikan apa yang dilakukan” atau sekalian saja, “jangan dengar apa yang dikatakan, lihat apa yang dilakukan”. Mengucapkan memang mudah, sangat teramat mudah. Aku bisa dengan entengnya berkata pada temanku kalau shalat lima waktu itu fardhu ‘ain , tapi aku sendiri angut-anguttan dalam mendirikannya atau sekedar melaksanakannya saja sudah sulit minta ampun. Allah tahu bahwa manusia mudah berbicara, mudah nyeplos, akhirnya sebagai tameng Allah lewat Rasul-Nya, mengatakan bahwa siapa banyak diam maka dia akan selamat. Artinya, siapa yang terlalu banyak bicara dia tidak selamat. Nah lho, sampe segitunya kan ?
          Terkekehnya pak Hadi atas pernyataan pak Kyai itu tentu mengindikasikan, bahwa penting untuk menjaga lisan kita untuk tetap sinkron dengan perbuatan kita. Jika dirasa susah, maka jalan amannya adalah dengan tidak mengatakannya kepada khalayak umum. Apalagi yang mengatakannya adalah orang yang sudah kadung dianggap sesepuh desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D