Minggu lalu, aku bersama
teman-teman melakukan safari rumah ke daerah Kendal. Jalanan super macet
mewarnai perjalanan melelahkan kami. Biasa, menjelang lebaran, jalan-jalan
mendadak dipercantik alias ditambal sulam. Kenapa nggak dari jauh-jauh hari ya
mbenerin jalannya? Selalu deh baru dibagusin menjelang lebaran. Anehnya juga,
dibenerinnya seperti setengah-setengah, Cuma tambal koreng doank. Buktinya,
setelah arus balik lebaran, jalan-jalan itu kembali rusak. Harusnya, dalam mereparasi
jalan harus dihitung ketebalan aspal berapa Cm jika rata-rata kendaraan per
hari sekian ribu. Ah, mana mau mereka serius ngerjainnya, orang mereka makan
juga dari hasil proyek, semakin banyak proyek semakin kenyanglah mereka. Orang Indonesia
kan sukanya bikin proyek, setelah jadi, ditelantarkan deh proyek itu.
Membahas masalah proyeknya
disudahi dulu, sekarang kita kembali ke topik semula, safari rumah di Kendal. Jadi,
disana kita menyambangi eh bersilaturahim ke 4 rumah teman kita. Bencana, dalam
tanda kutip, datang ketika tiba sesi sowan and pamitan ke orang tua teman kita.
Apa coba? Nggak ada salah satu dari 5 cowok yang ikut bisa berbahasa jawa krama hadehhhhhh. Mampus deh. Akhirnya ya aku
deh yang memberanikan diri belepotan berbahasa Jawa, matur duluan.
Disinilah, inilah bukti nyata
pendidikan Indonesia gagal dalam mendidik anak untuk menyadari kearifan lokal, terutama bahasa daerah. Ya, aku
menyalahkan lembaga pendidikan, aku nggak menyalahkan diriku sendiri hehehehe. Hla gimana, orang pelajaran
bahasa Jawanya gitu-gitu doank, nggak menarik. Pernah dulu, aku bersama temanku
Suprayitno lumayan hebat bisa menulis aksara Jawa, eeh ndilalah, gurunya waktu itu setiap ada soal pake aksara jawa nggak
dinilai, alias apapun jawaban kita dianggap benar. Kenapa ? karena beliau sendiri
tidak bisa menulis aksara Jawa. Minat belajar jadi berkurang deh. Zaman SMP,
pelajarannya Cuma membaca-membaca dan membaca kalimat-kalimat Jawa. Metode kayak
gitu doank mah anak balita juga bisa menghantarkan. Waktu SMA malah nggak ada
pelajaran bahasa jawa, tapi di-UASkan !!!!hadehhh.
gini nih akhirnya, output sekolah-sekolah
di Indonesia sedikit tercemin dari kita berlima.hehehehehe miris sekali
Dari kejadian ini juga, aku
semakin terbukti sangat inferior dihadapan ayah. Ayahku kurang apa coba, sejak
zaman sekolah dulu selalu dapet beasiswa. Keluar negeri juga pakai beasiswa. Hebatnya
lagi, bahasa kramanya lanyah banget. Cara
ayah bersosial juga dua jempol. Aku ???????? hiks,,,,,, T_T padahal salah satu
kewajiban seorang anak adalah mengalahkan ayahnya. Seorang anak berkewajiban
menjadi lebih baik dari ayahnya. Hakikatnya,
ketika ada ayah yang bekerja sebagai petani berkata, “nak, kalau sudah besar
nanti kamu jangan jadi seperti ayah ya?” itu bukan berarti kita haram menjadi
petani, tapi beliau menganjurkan kita untuk menjadi lebih baik dari dia. Sekalipun
kita mengikuti jejaknya sebagai petani, itu boleh saja, asalkan menjadi lebih
baik, petani yang lebih sukses dari ayah. Karena alasan itulah, Rosululllah
SAW tidak memiliki anak yang sampai tumbuh besar, karena tidak mungkin akan ada
seseorang yang melebihi kesempurnaan baginda Rosul SAW.
yaAllah, ijinkan aku mengalahkan
ayahku yaAllah. Membuat ayahku bangga = aku menang. Ayah kalah = ayah senang
yaAllah. Ayahku nggak akan marah walaupun aku lebih sukses dari beliau yaAllah.
Aku ingin mengalahkannya, lebih sukses, lebih hebat dari ayahku. Beri aku
jalan, lapangkan jalanku dari potensi yang aku miliki sekarang yaAllah. Allahumma istajib du’aiy innaka sami’un ‘alim………………..Amiiiiin
ki maksude pie sih?? kearifan lokal tekane kok perang mbi bapake..
BalasHapusehh betewe bapak kamu lulusan luar negeri kemana? nahh koe nopo ning IAIN???
hahahaha