Minggu, 01 Juli 2012

Pentingnya Kearifan Lokal



Minggu lalu, aku bersama teman-teman melakukan safari rumah ke daerah Kendal. Jalanan super macet mewarnai perjalanan melelahkan kami. Biasa, menjelang lebaran, jalan-jalan mendadak dipercantik alias ditambal sulam. Kenapa nggak dari jauh-jauh hari ya mbenerin jalannya? Selalu deh baru dibagusin menjelang lebaran. Anehnya juga, dibenerinnya seperti setengah-setengah, Cuma tambal koreng doank. Buktinya, setelah arus balik lebaran, jalan-jalan itu kembali rusak. Harusnya, dalam mereparasi jalan harus dihitung ketebalan aspal berapa Cm jika rata-rata kendaraan per hari sekian ribu. Ah, mana mau mereka serius ngerjainnya, orang mereka makan juga dari hasil proyek, semakin banyak proyek semakin kenyanglah mereka. Orang Indonesia kan sukanya bikin proyek, setelah jadi, ditelantarkan deh proyek itu.
Membahas masalah proyeknya disudahi dulu, sekarang kita kembali ke topik semula, safari rumah di Kendal. Jadi, disana kita menyambangi eh bersilaturahim ke 4 rumah teman kita. Bencana, dalam tanda kutip, datang ketika tiba sesi sowan and pamitan ke orang tua teman kita. Apa coba? Nggak ada salah satu dari 5 cowok yang ikut bisa berbahasa jawa krama hadehhhhhh. Mampus deh. Akhirnya ya aku deh yang memberanikan diri belepotan berbahasa Jawa, matur duluan.


Disinilah, inilah bukti nyata pendidikan Indonesia gagal dalam mendidik anak untuk menyadari kearifan lokal, terutama bahasa daerah. Ya, aku menyalahkan lembaga pendidikan, aku nggak menyalahkan diriku sendiri hehehehe. Hla gimana, orang pelajaran bahasa Jawanya gitu-gitu doank, nggak menarik. Pernah dulu, aku bersama temanku Suprayitno lumayan hebat bisa menulis aksara Jawa, eeh ndilalah, gurunya waktu itu setiap ada soal pake aksara jawa nggak dinilai, alias apapun jawaban kita dianggap benar. Kenapa ? karena beliau sendiri tidak bisa menulis aksara Jawa. Minat belajar jadi berkurang deh. Zaman SMP, pelajarannya Cuma membaca-membaca dan membaca kalimat-kalimat Jawa. Metode kayak gitu doank mah anak balita juga bisa menghantarkan. Waktu SMA malah nggak ada pelajaran bahasa jawa, tapi di-UASkan !!!!hadehhh. gini nih akhirnya, output sekolah-sekolah di Indonesia sedikit tercemin dari kita berlima.hehehehehe miris sekali


Dari kejadian ini juga, aku semakin terbukti sangat inferior dihadapan ayah. Ayahku kurang apa coba, sejak zaman sekolah dulu selalu dapet beasiswa. Keluar negeri juga pakai beasiswa. Hebatnya lagi, bahasa kramanya lanyah banget. Cara ayah bersosial juga dua jempol. Aku ???????? hiks,,,,,, T_T padahal salah satu kewajiban seorang anak adalah mengalahkan ayahnya. Seorang anak berkewajiban menjadi lebih baik dari ayahnya. Hakikatnya, ketika ada ayah yang bekerja sebagai petani berkata, “nak, kalau sudah besar nanti kamu jangan jadi seperti ayah ya?” itu bukan berarti kita haram menjadi petani, tapi beliau menganjurkan kita untuk menjadi lebih baik dari dia. Sekalipun kita mengikuti jejaknya sebagai petani, itu boleh saja, asalkan menjadi lebih baik, petani yang lebih sukses dari ayah. Karena alasan itulah, Rosululllah SAW tidak memiliki anak yang sampai tumbuh besar, karena tidak mungkin akan ada seseorang yang melebihi kesempurnaan baginda Rosul SAW.
yaAllah, ijinkan aku mengalahkan ayahku yaAllah. Membuat ayahku bangga = aku menang. Ayah kalah = ayah senang yaAllah. Ayahku nggak akan marah walaupun aku lebih sukses dari beliau yaAllah. Aku ingin mengalahkannya, lebih sukses, lebih hebat dari ayahku. Beri aku jalan, lapangkan jalanku dari potensi yang aku miliki sekarang yaAllah. Allahumma istajib du’aiy innaka sami’un ‘alim………………..Amiiiiin


1 komentar:

  1. ki maksude pie sih?? kearifan lokal tekane kok perang mbi bapake..
    ehh betewe bapak kamu lulusan luar negeri kemana? nahh koe nopo ning IAIN???
    hahahaha

    BalasHapus

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D