Hari ini, pinal pinul goyank goyenk nyebelin sangat. Sms duluan,
aku bales, dia bales lagi bahasanya nggak enak banget, uring-uringan. Aku ngomong
apa pasti salah, pasti di-haaallllllaaaah-in,
heran deh. Untungnya sebelum aku cuekkin dia sejadi-jadinya, dia jelasin
sendiri deh alasan kenapa dia begitu, lagi dapet, dapet apa nggak tahu. Umumnya
cewek-katanya- kalau lagi dapet memang sensitif. Pengen menang sendiri, maunya
apa yang dikatan selalu benar. Ya, begitulah wanita.
Ngomong-ngomong soal sensitif, akhir-akhir ini dunia persepak-bolaan tanah air juga
tengah diguncang masalah akibat perilaku supporter yang sangat sensitif. Laga Persija
Jakarta melawan Persib Bandung pada akhirnya memakan korban 3 (tiga) nyawa,
yang tewas karena menjadi korban pengeroyokan. Tidak sedikit kalangan yang sok
menasehati agar semua supporter berdamai dan bersaudara. Entah lupa atau
dasarnya nggak tahu, fanatisme supporter dimana-mana itu selalu
sangat sensitif. Tidak hanya di Indonesia saja, bahkan di
Liga Inggris sekalipun. Ambil contoh ketika Liverpool merilis kostum tandang
2011-2012 mereka yang ada warna birunya, para Liverpudlian langsung aja protes
besar (sekedar info, warna biru adalah warna dasar musuh sekota mereka,
Everton). Yapp, dimana ada saudara, disitu ada musuh. Dimanapun
bumi dipijak.
Tapi memang harus diakui apa yang terjadi di Indonesia
memang sudah terlalu keterlaluan, terlewat batas. Belum sepenuhnya selesai pihak keamanan mengusut kasus
tewasnya penonton di GBK, eh hari ini, Jumat, terjadi lagi kasus serupa di
daerah Mojokerto, rombongan Delta Mania (kelompok supporter Deltras Sidoarjo)
yang sedang menuju Sidoarjo setelah menyaksikan timnya bertanding melawan
Persela Lamongan, dihadang dan dikeroyok oleh sekelompok orang
berseragam Bonek mania (kelompok supporter Persebaya). Mereka membuat perjalan
pulang Delta Mania menuju Sidoarjo menjadi mencekam dengan sabetan parang,
pedang dsb. Dalam kasus ini tidak ada korban jiwa, hanya tiga orang korban
masih kritis di Rumah Sakit.
Kesensitifan
ini memang berasal dari banyak pemicu. Indonesia sendiri bangsanya memiliki
tingkat kesensitifan yang tinggi, yang berasal dari fanatisme kedaerahan, agama,
ras dan kelompok. Kalau ada sebab
lainnya paling juga presentasenya kecil, tapi empat itulah pemicu utama. Sedikit
saja nama dari empat unsur tadi disinggung apalagi dicoreng, maka marahlah
mereka, mengamuklah mereka.
Entahlah dimana letak salah-benarnya, aku sendiri tidak ingin jauh-jauh berasumsi. Misalnya, mengadakan liga tanpa ada penonton di stadion hahahaha, atau meniru opini PM Italia, kegiatan olahraga ini dihentikan dulu selama tiga tahun. Entahlah harus menunggu berapa tahun hingga kelompok-kelompok ini bisa duduk manis menonton bola dengan tertib dan damai. Di postingan ini juga aku nggak ingin ngasih solusi-solusi absurd, aku hanya bisa duduk tegang, ngeri, takut, cemas, menunggu sepak bola tanah air menjadi menyenangkan. Tanpa ada pertumpahan darah, tanpa ada kekerasan. Menunggu kita semua saling berangkulan, berjabat tangan.
hahahha... iya, negara multikultural yang agak miskin toleransi plural, itulah Indonesia.
BalasHapusdengan menulis ini, bukankah anda sudah berbuat satu hal positif? jadi anda tidak hanya diam dan menunggu, bukan? :)
hehehehehe entahlah, aku juga gak tahu apa ada orang yg tersadar begitu membaca tulisan ini :D
Hapusbtw, thanks for comment