Jumat, 11 September 2015

ANDINI (part 2): Cerita ini Dimulai

sketsa sosok Andini

Dini, begitu aku memanggilnya. Nama lengkap gadis itu Putri Andini. Katanya sih, orang-orang rumah memanggilnya Putri. Dia asli berasal dari kota ini, hal itulah yang memicu banyak teman-teman untuk bertanya, “Kenapa kuliah disini? Nggak di Unnes saja?” for your information, kampusku memang kurang begitu terkenal di kalangan warga Semarang kota. Kalah populer ketimbang Unnes, Undip atau Unissula. Saya sering kenalan dengan mahasiswa kampus lain, ketika aku sebut nama IAIN Walisongo, kebanyakan dari mereka hanya jawab, “oooh, nggak tahu dimana...” atau kalo ketemu mahasiwa yang sok ngerti jawab, “oooh IAIN,,, Jogja ya berarti?” ha... ha... ha.... *ketawa sinis*. Jadi wajar kalo Dini yang notabene adalah anak Semarang asli kuliah di IAIN (sekarang UIN) ditanya, “kenapa nggak kuliah di Unnes saja?” dia hanya menjawab, “nggak keterima kok disitu he he he...”

Dini bukanlah anggota kelasku yang tercantik. Bahkan cenderung tidak populer. Anggota kelas cewek yang sering diperbincangkan oleh cowok-cowok ketika berkumpul adalah; 1. Puji (of course) 2. Zianur 3. Khasanah 4. Usi dan (well) 5. Haryanti. Itu adalah list cewek yang diperbincangkan karena parasnya, sedangkan kalo dari kepintaran maka akan tersebut nama Solekhah, Minnatil, Izza dan Miftahul. Dini? Awal-awal semester dia benar-benar “tidak ada”. Awal-awal kuliah itu, aku masih sangat akrab sama Zianur. Pergi kemanapun selalu sama dia, cewek yang menjadi salah satu bahan obrolan para lelaki di kelasku.
***
Hari sudah sore, sekitar jam 4, waktu pulang jam terakhir hari itu. Aku lihat dia berjalan sendirian. Oh ya, I tell you something, waktu awal-awal kuliah, aku benar-benar sosok yang berteman dan cengengesan dengan siapapun; cowok, cewek, dari sejurusan, beda jurusan sampai beda angkatan. Makanya, di kalangan mahasiswa angkatan 2010 aku lumayan cukup banyak yang kenal di kampus.
Kembali ke sore itu. Melihat Dini jalan sendirian, aku samperin dia. Disitulah obrolan ketiga dan obrolan yang membuat kita akrab terjadi.
“Din ...!” Aku panggil dia
“hey, ..” dia menengok
“kok sendirian?”
Begitulah, dia bilang sedang menunggu Anto yang mau nganter dia sampai simpang lima. Setelah basa-basi sedikit, aku putuskan untuk menemani dia nunggu Ari di taman. Saat itu, aku tahu kalau dia pacaran dengan orang yang bernama Qubil. Anak pondok dan lebih muda dari Dini. Dia ceritakan secara runtut kenapa dia bisa jadian sama Qubil, apa yang dia sukai, dia harus LDR dengannya dan segalanya. Sore itu, pertama kalinya aku melihat hal yang sangat aku sukai dari dia, merajuk. .
          “oh ya, kamu kan juga dari pondok tho, Guh?” tanya Dini
          “He.eem,, betul ... hehehe”
“Berarti, bisa qiro juga dong? Aku tho sering minta Qubil gitu buat qiro depan aku...”
“hahaha, iya aku memang anak pondok tapi aku ngga bisa qiro, soalnya memang ngga belajar....”
“ah, bohong... ayo dong bacain ayat quran dilagu-lagu gitu, pasti bisa..”
“serius, aku ngga bisa ....”
bukan bermaksud merendah tapi aku memang nggak bisa dan mungkin nggak berbakat. Lagian waktu di Pondok aku nggak gitu respek sama orang-orang yang bersuara bagus.
“aku ngga percaya, cepet ah, aku maksa nih..”
Hahaha, itulah, aku suka sekali setiap dia bersikap begitu. Setelah dia merajuk begitu, akupun membaca ta’awwudz tapi kemudian tertawa dan bilang ke dia kalau akubetul-betul ngga bisa. Untungnya sebelum dia merajuk dan memaksa lebih jauh, orang yang mau dia bonceng datang. Yaps, Anto datang dan mengakhiri obrolan keduaku dengan Dini.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D