Sabtu, 12 September 2015

ANDINI(part 3): Mulai Berhubungan

         


Pergantian semester pun datang, aku menjadi semakin akrab dengan Dini. Aku mulai tau anggota-anggota keluarganya, latar belakangnya sampai cerita-cerita pribadinya. Apapun dia ceritakan dan aku senang mendengar ceritanya satu per satu. Mulai mantan yang masih sayang, sampai sosok orang yang dia cintai selain pacarnya, aku tahu semuanya. Akhirnya diapun memanggil aku “kakak” dan aku benar-benar memberlakukannya sebagai adik. Karena kebetulan aku ngga punya adik perempuan dan dia tidak mempunyai kakak laki-laki.
          Semester itu ada satu hal yang sangat aku ingat. Dia minta aku buat nyariin tempat yang jual pempek (makanan khas Palembang). Berhubung waktu itu aku belum bawa motor, maka akupun kesulitan. Sampai akhirnya kita ngga pernah sekalipun makan pempek berdua (sampai sekarang). Nah, suatu hari aku makan pempek dan langsung sms dia, “Aku lagi makan pempek lhoo dek.. nyam nyam nyam.” Bukannya membalas smsku, dia malah lebih memilih untuk mengupdatenya di facebook lengkap dengan menandai akunku. Berhubung dari tadi aku cari-cari statusnya ngga ketemu, aku tuliskan kira-kiranya begini;.

“Sore-sore begini sms Hanya mau pamer lagi makan pempek. Whuu dasar kakak yang payah.” 


          Keakrabanku dengan Dini nampaknya membuat pacarnya, Qubil, menjadi sangat tidak senang. Maklum lah, namanya juga LDR. Tepat di pergantian semester 3 ke 4, Dini berkata kalau dia harus jaga jarak sama aku. Meski berat, aku mengiyakan saja. Liburan semester 3 adalah pertama kalinya kita “jauhan”. Iya, pertama kali, karena selama 4 tahun ini kita berkali-berkali jauhan.

***
          Ternyata, jauh dari Dini make me feels like,,,, there’s something missing in my daily life. Biasanya ada yang cerita, biasanya ada yang curhat (yaa walaupun masih banyak si yang curhat sama aku, tapi tetep aja beda.) meski begitu aku masih belum yakin sama perasaan, waktu itu aku pikir paling hanya kehilangan teman cerita (adik) saja. Lagipula, waktu itu aku masih memikirkan dengan sangat sosok perempuan yang aku kenal semenjak SMA, Kholifatul Jannah alias mbak liva. Cerita tentang mbak liva sering lho aku tuliskan di blog ini.
          Akhirnya, setelah beberapa minggu perkuliahan semester 4 dimulai, aku sudah mulai ngga tahan terus jauh-jauhan. Suatu sore aku nganterin dia nunggu Damri depan gerbang kampus. Dan terjadilah percakapan ini...
          “Dek, jauhan sama kamu, rasanya aneh ....” aku memulai percakapan, posisi kita berdua masih berdiri gitu.
          “iya, sih Kak... aku juga ngerasa begitu...”
Sejenak kita berdua diam, bis Damri datang. Aku persilakan Dini untuk naik, dia lihat jam, lalu berkata nanti saja. Mau ngobrol dulu. Dini memberi isyarat “tidak” ke kondektur, Damripun berlalu. Kita kembali diam.
          “Aku bingung ngomongnya, dek ....”
Dini saat itu hanya diam, entah menyimak entah memandangi wajahku, aku ngga tahu karena waktu itu seingatku, aku ngga menatap wajahnya. Aku ngomong sambil lihatin dan sambil nulis-nulis di tanah.
          “Salah engga sih, kalo aku cinta kamu dek.?”
Yah, aku memang ngga pintar basa-basi akhirnya langsung jeger aja begitu.
“hemf .... salah juga ngga sih, kalo aku yang udah punya pacar juga cinta kakak?”
jawaban Dini itu membuatku semakin bingung, entah senang entah apa aku bingung aja. Tanpa melihat wajahnya, aku tunggu kata-kata selanjutnya. Berhubung ngga ada kelanjutannya, aku bilang,
“ini bukan cinta seorang kakak ke adiknya. Tapi, aku benar-benar cinta kamu sebagai laki-laki ke perempuan...”
          “iya, Aku tahu.... aku juga gitu...”
Senyum mengembang di bibirku, aku lihat wajahnya diapun tersenyum. Damri kedua datang, aku lihat matanya menyampaikan pertanyaan lewat tatapan, “ngga naik?” dia jawab, “nanti aja ah.” Damri keduapun berlalu.
          “hemmmm, berarti mulai kita pacaran nih?”
          “iya, kalo kakak merasa ngga apa-apa sih...”
          “maksud adek, aku jadi pacar keduamu? Hemmh, ngga papa sih..”
Akhirnya, sore itu aku resmi mulai jadi pacar kedua Dini. Entah tanggal berapa bulan apa, karena pada dasarnya itu bukanlah momen jadian. Aku hanya jadi selingkuhannya. Bodoh? “Tak apa”. Begitu pikirku waktu itu. Aku ingat sekali sebuah kutipan yang aku jadikan pembenaran, “love is madness. If you are not mad, you are not falling in love.” Entah darimana aku nemu kata-kata itu. Yang jelas, kalimat itu aku jadikan pembenaran atas kebodohanku selama bertahun-tahun.

***


4 komentar:

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D