Kamis, 19 April 2012

Dibalik Penyesalan



          Salah satu dari sifat dasar manusia adalah menyesal. Sebuah rasa yang 100 % dirasa ketika seseorang telah melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sebuah kesalahan. Walaupun kesalahan yang dilakukan masih bisa untuk diperdebatkan. Sayangnya, waktu tidak bisa diputar ulang, seperti kata Al-Imam Al-ghozaly, bahwa sesuatu yang terjauh dalam kehidupan manusia adalah waktu. Benar, sekalipun masa lalu kita hanya berjarak satu detik, tetap saja satu detik itu tidak bisa kita putar ulang. Disamping menyesal, manusia juga punya satu sisi baik dalam dirinya. Seorang penjahat pun pasti memiliki (setidaknya) satu titik sinar kebaikan dalam jiwanya. Koruptor pun sama, mereka saya yakin masih memiliki sebuah pikiran baik dan ada sedikit penyesalan ketika “memikirkan” kembali berapa uang yang telah dia telan.


          Sebut saja dia Abdul, seorang lelaki yang terlahir dari keluarga yang kurang beruntung. Serba susah dalam upaya untuk bertahan hidup. Tuhan tidak mengkaruniainya fisik yang bagus, otak yang pintar atau materi yang tinggi. Apa yang ada dalam diri Abdul hanyalah kekurangan. Namun dia sabar, bahkan selalu sabar. Dia juga dikenal masyarakat sekitar sebagai pribadi yang biasa saja, tidak banyak tingkah. Mungkin atas dasar itulah, Tuhan sering menunjukkan kasih-Nya secara nyata pada Abdul. Dan dia menyadarinya. Namun, bukan manusia namanya jika selalu merasa cukup dan berpikir, “kalau bisa lebih, kenapa harus cukup ?”. Sama seperti lainnya, Abdul juga suka merasa kurang dalam hal rejeki. Hingga, suatu hari yang tak akan bisa dia lupakan. Hari dimana dia melakukan sebuah hal yang akan selalu dia sesali dan ingin dia ulang hari itu agar dia bisa menghindar dari melakukan perbuatan itu. Abdul, mempunyai kebiasaan untuk makan enak. Abdul tidak suka untuk hidup irit. Hingga suatu hari yang panas, dia sadari kalau dia belum menelan sesuap nasi untuk beberapa hari. Rasa lapar yang terus melilit, “memaksanya” untuk membuka lemari seorang temannya dan mengambil sebagian uang dari lemari itu. Sadar, dia sadar sekali akan perbuatannya. Bahkan ketika dia mengambil uang itu, dia tersenyum. Tersenyum getir bahkan dalam hati menertawai diri.
          Akan datangnya suatu hari yang bahagia, dimana dia mempunyai banyak uang yang lebih dari cukup untuk mengembalikan apa yang dia ambil dari lemari temannya, selalu dia yakini. Keyakinan yang selalu menyertai rasa sesal karena merasa bersalah. Salah ? bisa diperdebatkan. Daripada mati ? lalu dokter mengatakan bahwa penyebab kematiannya karena kelaparan. Semua tetangganya akan divonis lalai karena membiarkan adanya seorang miskin yang meninggal karena kelaparan. Sesibuk apa sampai mereka tidak menghiraukan Abdul ?  siapaun itu yang memvonis, entah nenek sebelah rumah atau Tuhan. Itu hanyalah justifikasi ciptaan sebelah hati Abdul. Benar ? bagaimana mungkin, kapanpun dimanapun yang namanya mencuri adalah sebuah kesalahan apapun motoif dibalik pencurian itu. Sebuah kontradiksi kata hati yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang pada dasarnya adalah orang baik.


          Menangis, itulah yang sering Abdul lakukan ketika takut menghampirinya. Takut kalau-kalau dia ketahuan. Entahlah, mungkin banyak sekali hal yang dia takutkan. Dia hanya bisa bergantung pada Tuhannya agar diberikan nasib terbaik. Terbaik menurutnya atau menurut-Nya. Begitulah, rasa sesal dan takut karena melakukan sebuah kebathilan memang membuat hidup ini menjadi tidak nyaman. Bahkan sangat tidak nyaman. Oleh karena itu, jika ingin memperoleh kehidupan yang nyaman, maka hindarilah dari melakukan perbuatan yang negatif. Apapun itu jika masyarakat banyak sudah memvonis kalau itu jelek, maka hindari saja, karena kita adalah makhluk sosial. Juga, kita selalu hidup bertetangga, dimanapun kita hidup. Semoga kisah ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Kisah ini saya buat setelah merenungkan tentang kenyamanan hidup. Terimakasih, bagi yang membaca Wassalamualaikum,,,,,,,,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D