Salah satu dari
sifat dasar manusia adalah menyesal. Sebuah rasa yang 100 % dirasa ketika
seseorang telah melakukan sesuatu yang menurutnya adalah sebuah kesalahan. Walaupun
kesalahan yang dilakukan masih bisa untuk diperdebatkan. Sayangnya, waktu tidak
bisa diputar ulang, seperti kata Al-Imam
Al-ghozaly, bahwa sesuatu yang terjauh dalam kehidupan manusia adalah
waktu. Benar, sekalipun masa lalu kita hanya berjarak satu detik, tetap saja
satu detik itu tidak bisa kita putar ulang. Disamping menyesal, manusia juga
punya satu sisi baik dalam dirinya. Seorang penjahat pun pasti memiliki
(setidaknya) satu titik sinar kebaikan dalam jiwanya. Koruptor pun sama, mereka
saya yakin masih memiliki sebuah pikiran baik dan ada sedikit penyesalan ketika
“memikirkan” kembali berapa uang yang telah dia telan.
Sebut saja dia
Abdul, seorang lelaki yang terlahir dari keluarga yang kurang beruntung. Serba
susah dalam upaya untuk bertahan hidup. Tuhan tidak mengkaruniainya fisik yang
bagus, otak yang pintar atau materi yang tinggi. Apa yang ada dalam diri Abdul
hanyalah kekurangan. Namun dia sabar, bahkan selalu sabar. Dia juga dikenal
masyarakat sekitar sebagai pribadi yang biasa saja, tidak banyak tingkah. Mungkin
atas dasar itulah, Tuhan sering menunjukkan kasih-Nya secara nyata pada Abdul. Dan
dia menyadarinya. Namun, bukan manusia namanya jika selalu merasa cukup dan
berpikir, “kalau bisa lebih, kenapa harus cukup ?”. Sama seperti lainnya, Abdul
juga suka merasa kurang dalam hal rejeki. Hingga, suatu hari yang tak akan bisa
dia lupakan. Hari dimana dia melakukan sebuah hal yang akan selalu dia sesali
dan ingin dia ulang hari itu agar dia bisa menghindar dari melakukan perbuatan
itu. Abdul, mempunyai kebiasaan untuk makan enak. Abdul tidak suka untuk hidup
irit. Hingga suatu hari yang panas, dia sadari kalau dia belum menelan sesuap
nasi untuk beberapa hari. Rasa lapar yang terus melilit, “memaksanya” untuk
membuka lemari seorang temannya dan mengambil sebagian uang dari lemari itu. Sadar,
dia sadar sekali akan perbuatannya. Bahkan ketika dia mengambil uang itu, dia
tersenyum. Tersenyum getir bahkan dalam hati menertawai diri.
Akan datangnya
suatu hari yang bahagia, dimana dia mempunyai banyak uang yang lebih dari cukup
untuk mengembalikan apa yang dia ambil dari lemari temannya, selalu dia yakini.
Keyakinan yang selalu menyertai rasa sesal karena merasa bersalah. Salah ? bisa
diperdebatkan. Daripada mati ? lalu dokter mengatakan bahwa penyebab
kematiannya karena kelaparan. Semua tetangganya akan divonis lalai karena
membiarkan adanya seorang miskin yang meninggal karena kelaparan. Sesibuk apa
sampai mereka tidak menghiraukan Abdul ?
siapaun itu yang memvonis, entah nenek sebelah rumah atau Tuhan. Itu hanyalah
justifikasi ciptaan sebelah hati
Abdul. Benar ? bagaimana mungkin, kapanpun dimanapun yang namanya mencuri
adalah sebuah kesalahan apapun motoif dibalik pencurian itu. Sebuah kontradiksi
kata hati yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang pada
dasarnya adalah orang baik.
Menangis, itulah
yang sering Abdul lakukan ketika takut menghampirinya. Takut kalau-kalau dia
ketahuan. Entahlah, mungkin banyak sekali hal yang dia takutkan. Dia hanya bisa
bergantung pada Tuhannya agar diberikan nasib terbaik. Terbaik menurutnya atau
menurut-Nya. Begitulah, rasa sesal dan takut karena melakukan sebuah kebathilan
memang membuat hidup ini menjadi tidak nyaman. Bahkan sangat tidak nyaman. Oleh
karena itu, jika ingin memperoleh kehidupan yang nyaman, maka hindarilah dari
melakukan perbuatan yang negatif. Apapun itu jika masyarakat banyak sudah
memvonis kalau itu jelek, maka hindari saja, karena kita adalah makhluk sosial.
Juga, kita selalu hidup bertetangga, dimanapun kita hidup. Semoga kisah ini
bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Kisah ini saya buat setelah merenungkan
tentang kenyamanan hidup. Terimakasih, bagi yang membaca Wassalamualaikum,,,,,,,,,,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D