Senin, 07 Desember 2015

MENTAL DISORDER (3)

Part 3: Teman ..
            Kehidupanku di kampus tak berbeda jauh dengan kehidupanku di jaman sekolah dulu. Orang-orang yang bergaul denganku adalah mereka yang memang adalah sosok orang yang baik ke semua orang. Orang yang bergaul denganku hanyalah orang-orang yang betul-betul tidak memilih-milih teman. Hingga pada dasarnya, aku tidak pernah benar-benar memiliki teman. Satupun.
            Setiap harinya aku berangkat ke kampus hanya untuk perkuliahan lalu pulang ke kamar kos, entah itu langsung tidur atau melamun. Berhayal seandainya aku begini seandainya aku begitu. Di kampus tak satupun unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang aku ikuti. Pikirku percuma aku gabung kegiatan ekstra, toh paling akan berakhir tak berguna. Again and again. Pikiran itu bukan tanpa alasan, karena suatu ketika di semester awal, ada pelatihan untuk masuk  satu UKM yang mempunyai tagline, “kita bukanlah organisasi kita adalah keluarga.” Sebuah tagline yang sedikit banyak membuatku tertarik untuk bergabung. Dalam pelatihan itu diadakan suatu diskusi tentang peranan sekolah terhadap perkembangan psikis anak didik. Aku ingat betul waktu itu aku membantah pendapat salah seorang senior. Entah darimana keberanian itu datang. Sejatinya, berani untuk membantah juga salah satu skill yang tidak aku punyai. Dengan tagline “Kita Adalah Keluarga.” Aku pikir semua opini bisa ditanggapi secara bijak. Namun apa yang aku dapatkan adalah ancaman di akhir diskusi.     



“Koe pengen aku pukul, hah? Raimu iku jemotos bikin aku gatel pengen njotos ae.” Kata si senior dengan tatapan ala Voldemort.
Semenjak saat itu aku tak percaya lagi dengan semua tagline organisasi manapun. “Pasti sama saja.” Batinku. Aku putuskan untuk tidak masuk organisasi itu meskipun namaku tercantum lulus ujian pengkaderan.
            Sewaktu posisiku adalah mahasiswa semester 7 dan secara matematis aku adalah seorang senior di kampus, aku tidak seperti kebanyakan mahasiswa yang sibuk menggelar seminar dan sebagainya, aku masih sama seperti awal kuliah. Sendiri hidup tanpa gairah, tanpa teman, tanpa motiasi. Bahkan aku tak bisa mencintai diriku sendiri. Status di media sosial, “do you hate me? I do hate myself.” Pun berulang ulang aku tuliskan di dinding beranda. Ibarat pepatah, aku adalah mayat hidup. Hidup ya tidak, mati juga tidak. The Walking Dead.! (I hate myself)
            Jika hiburan akhir pekan teman-teman kampus adalah jalan-jalan bersama, maka aku tidak demikian. Semenjak hidup di kota ini, hal yang aku sukai adalah keberadaan toko buku dan bioskop. Dua hal yang bisa membuatku keluar kamar untuk “suatu urusan”. Dua hal yang aku jadikan alibi supaya tidak dikatain, “Ali kok hobinya di kamar terus, ngga keluar kemana gitu?.” Oleh ibu-bapak kos. Di bioskop, apapun filmnya, film barat ataupun film dalam negeri aku tonton. Demi hanya untuk membunuh waktu, membunuh rasa sepi. Seat E4 adalah favoritku, karena disitu aku akan benar-benar tak terlihat oleh pengunjung lainnya. Hilang dalam kegelapan teater.
Di toko buku, rak komik adalah tempat membunuh waktu paling menyenangkan bagiku. Sampai-sampai ketika aku sedang melamun di kamar, aku sering berkhayal memiliki kekuatan Rasengan-nya Naruto, tampang Cool-nya Hatake Kakashi atau otak pintarnya Shinichi Kudo, “Ah, kalo aku punya itu semua. Aku pasti disukai banyak orang. Aku pasti punya banyak teman.” Gumamku pada diri sendiri. Sayang sekali, hobiku mengikuti serial Naruto dari awal sampai saat itu tidak membuatku terpacu untuk memiliki tekad yang kuat seperti Naruto.  

berhayal punya Chidori

Suatu sore di akhir pekan semester 7, kembali aku sambangi rak komik toko buku terbesar di kota ini. Berhubung semua komik Naruto dan Conan sudah terbaca, maka aku mulai mencoba membaca komik-komik lainnya seperti Fairy Tail dan Crows Zero. Selesai baca Fairy Tail volume 2, aku coba baca volume 3 yang kebetulan sekali masih terbungkus plastik. Seperti biasa, aku coba untuk membuka sampul plastik itu secara diam-diam menggunakan kuku jempol. “Sreeeeeetttttt.” Ya, begitu bunyinya.
“Kan, sudah kuduga kamu disini....!!!”
Satu suara yang mengagetkanku tiba-tiba. Menghentikanku dari usaha membuka sampul plastik komik Fairy Tail volume 3. Jantungku berdegup kencang karena aku kira itu suara staff toko. Di toko buku ini memang memiliki peraturan dilarang membuka sampul plastik. Beda dengan toko buku satunya yang silakan-silakan saja untuk membuka.
“Rindu.... “ sebutku.
“kok ... kamu... kok disini?”
Tanyaku terbata-bata. Antara kaget, khawatir ketahuan buka sampul plastik sama heran. Rindu nyengir kuda.
“Heheheee. Sendirian lagi? Emmm, temenin aku aja yuk, mau ngga?” kata Rindi
“Em? Kemana?” tanyaku. Heran belum habis benar.
“Aku laper, mau nggak nemenin aku makan. Aku yang bayar deh. Sekalian ngobrol-ngobrol. Heheee.” Lanjut Rindi
“Yaa ... ya oke wis.”
Ini adalah pertama kalinya ada perempuan yang mengajakku menemani pergi makan. Jadi aku manut saja deh apa kata dia. Sekalian belajar merubah diri, coba bersosialisasi. Yaa walaupun hanya dengan satu orang. Lumayan lah.
KFC dalam mall deket toko buku jadi pilihan Rindu untuk makan bareng. Entah kebetulan atau memang sengaja, dia sendirian waktu itu. Jadilah kita Cuma makan berdua di pojok KFC.
“Rindi...... kok kamu bisa kenal aku?” aku coba membuka percakapan. Latihan.
“haha.. akhirnya kamu ngomong. Sudah aku tungguin dari tadi juga. Hihi.”
Rindu berhenti sebentar, menelan ayam gorengnya. Lalu melanjutkan.
“Semua orang di sekolah kita dulu, kenal kamu kali... siapa coba yang nggak kenal, makhluk dari planet lain ini. Hahahaha”
Aku yang awalnya senyum-senyum mendadak kembali memasang muka datar. Dia tertawa begitu seperti tanpa dosa. Belum sempat aku tanggapi. Rindu sudah kembali bicara,
“kenapa? Ngga terima? Marah? Mau mukul mata aku? Hihihi.”
“ooh, Rindu juga lihat kejadian waktu itu ?”
“iya laah, .. semua juga lihat.”
Aku jatuhkan pandangan mataku ke lantai. Diam. Memutar kembali memori waktu tanganku menghujam tepat di mata kanan si Anton.
“Hey,,, kenapa? Maaf deeh kalo aku menyinggung.”
“emm, ngga papa Rin. Aku cuma malu aja.”
“lhoh, kenapa harus malu? Aku salut lhoo, akhirnya kamu berani melawan.”
“Tapi akhirnya aku remuk juga, kan.. untung ada Pak Andi yang bubarin mereka. Eh, Rin?”
“iya? Kenapa?”
Aku diam. Sedikit ragu untuk menanyakan maksud, “salut”nya Rindi. Dan akhirnya memilih untuk tidak menanyakan.
“Emmmm ngga papa-papa..” ya, itu yang akhirnya keluar dari mulutku.
“Hayoo, mau ngomong apa tadi? Hehehehe. Hemmmm Kayaknya aku mulai paham deh kenapa kamu selalu sendirian.”
Dalam hati aku ngomong, apa-apaan dia sok-sokan meniru gaya Conan ketika sedang menganalisis kasus. Menaruh tangan di dagu sambil memincingkan matanya. Apalagi tangannya habis pegang ayam goreng. Mukanya jadi belepotan gitu.
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena kamu alien .... hahahahaha.”
“ooh, iyaa..memang karena itu, kan?” menyebalkan sekali. Tapi tertawanya menyenangkan sekali. Meskipun, gara-gara itu orang-orang di KFC pada ngelihatin kita semua sih.
“Emang sebenarnya kenapa sih, Al? Kok kamu hobi bener sendirian?”
“Yaa, ......... aku ngga punya temen, Rin..”
“SATUPUN ???”
“Iya ... “                               
“Oke fiks..” kata Rindu mantap sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke tangan kiri.
“Ha? Fiks.. apanya yang fiks?”

“Aku Rindu Andita dengan ini mendeklarasikan diri sebagai teman pertamamu dalam sejarah... heee.” Rindu senyum kuda. BERSAMBUNG ........ 
===========================================
Baca juga ya, Mental Disorder part 1 (Aku Bukan ALien) dan part 2 nya yang bercerita awal bertemu dengan Rindu (pertemuan). Tinggal diklik aja itu yang biru-biru. Kalo pembaca bertanya-tanya, antara judul dengan jalan cerita kok nggak nyambung? yaa, tunggu saja twist nya. Maklum saya masih newbie, jadi membangun ceritanya masih sedikit muter-muter. Minta komentarnya, ya ...

1 komentar:

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D