Salah satu syiar yang agung dalam Islam adalah
shalat berjamaah di masjid. Para ulama sepakat bahwa melaksanakan shalat fardhu
di masjid merupakan salah satu ketaatan yang sangat dianjurkan dan ibadah yang
paling besar untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Shalat fardhu di masjid
merupakan salah satu syiar agama yang paling tampak dan paling besar.
Allah SWT telah mensyariatkan kepada umat Islam
untuk berkumpul dalam waktu-waktu tertentu. Di antaranya adalah berkumpul di
waktu siang dan malam hari. Seperti shalat lima waktu, dalam artian lima kali
sehari-semalam orang-orang muslim berkumpul di masjid untuk melaksanakannya.
Umat Islam sejatinya telah menjalankan shalat
berjamaah dengan tekun
dan sangat membenci orang-orang yang meninggalkannya sejak masa Nabi SAW. Namun begitu, dalam shalat berjamaah terdapat keringanan-keringanan (rukhshah) untuk meninggalkannya jika ada udzur yang menghalanginya. Islam memberikan keringanan ini supaya umat Islam bisa senantiasa menjaganya dan menegakannya tanpa merasakan kesempitan dan kesukaran.
dan sangat membenci orang-orang yang meninggalkannya sejak masa Nabi SAW. Namun begitu, dalam shalat berjamaah terdapat keringanan-keringanan (rukhshah) untuk meninggalkannya jika ada udzur yang menghalanginya. Islam memberikan keringanan ini supaya umat Islam bisa senantiasa menjaganya dan menegakannya tanpa merasakan kesempitan dan kesukaran.
II.
Rumusan Masalah
A. Apa
hukumnya shalat berjamaah?
B. Apa
saja keringanan-keringanan di dalam shalat jamaah?
III.
Pembahasan
A. Hukum
Shalat Berjamaah
Shalat disyariatkan pelaksanaannya secara berjamaah.
Dengan berjamaah, shalat makmum akan terhubung dengan imamnya. Legalitas syara’ shalat jamaah ditetapkan dalam
al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma’ para ulama. Allah SWT berfirman,
Artinya, “dan apabila kamu berada
di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat
bersama-sama mereka.”
(QS, an-Nisa; 102)
Ayat ini menunjukan legalitas shalat berjamaah dalam
kondisi ketakutan, sehingga legalitas pelaksanannya dalam kondisi aman jelas
jauh lebih utama. Rasulullah SAW bersabda melalui hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Hurairah r.a,
صلاة الرجول في
جماعة تزيد على صلاته في بيته و سوقه خمسا وعشرين درجة
Artinya, “Shalat seseorang secara
berjamaah melebihi shalatnya di dalam rumahnya dan pasarnya dengan tingkat
kelebihan 25 derajat.”
Shalat berjamaah
termasuk salah satu keistimewaan yang diberikan dan disyariatkan untuk umat
Islam. Ia mengandung nilai-nilai pembiasaan diri untuk patuh, bersabar, berani,
dan tertib aturan, disamping nilai sosial untuk menyatukan hati dan menguatkan
ikatan.
Adapun terkait
dengan hukum shalat berjamaah, penyusun menemukan bermacam-macam hukum beserta
kehujjahan dalil pendukungnya. Dalam satu hadits, Nabi SAW mengancam akan
membakar rumah orang-orang yang tidak melaksanakan shalat berjamaah. Ancaman
dan kecaman Nabi SAW tersebut kepada orang yang meninggalkan shalat jamaah
membuat sebagian ulama menyatakan wajib dan fardhu ‘ain. Namun sebagian
yang lain menyatakan fardhu kifayah, dan sebagian lain menyatakan bahwa
shalat jamaah adalah syarat sah shalat, sehingga shalat tidak akan sah jika
tidak dilaksanakan secara berjamaah tanpa adanya udzur. Adapun pendapat yang rajih
dalam hal ini adalah pendapat yang disampaikan oleh mayoritas ulama yang
mengatakan bahwa shalat berjamaah hukumnya adalah sunnah muakkadah.[1]
Hadits yang menjadi
dasar pertimbangan hukum tersebut adalah hadits narasi Abu Hurairah r. a
bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
إنّ أثقل صلاةٍ على المنافقين صلاةُ العشاء و صلاةُ الفجر و لو يعلمون ما
فيهما لأتوهما ولو حبوا و لقد هممتُ أن آمُر بالصلاةِ فتُقامَ ثمّ آمُرَ رجُلاً
فيصلّي بالنّاس ثمّ أَنطلِقَ معيْ برجالٍ معهم حُزامٌ من حطبٍ إلى قومٍ لا يشهدون
الصلاة فأُحرِّقَ عليهم بيوتهم بالنّار. (مُتّفقٌ عليه)
Artinya,
“Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah shalat
isya dan shalat subuh, padahal andai mereka mengetahui apa yang tersimpan di
dalamnya, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Aku
sebenarnya ingin memerintahkan mereka untuk shalat, lalu dirikanlah shalat,
kemudian aku perintahkan salah seorang laki-laki untuk menjadi imam shalat bagi
orang-orang, kemudian aku bertolak bersama sejumlah laki-laki yang bersamaku
membawa seikat kayu bakar ke tempat kaum yang tidak menghadiri shalat
(berjamaah), lalu aku bakar rumah mereka dengan api. (Muttafaqun Alaih)
Ancaman membakar
rumah mereka jika dipandang secara literal mengandung arti wajib. Namun
kemungkinan, hadits diatas berlaku bagi orang munafik yang mengabaikan shalat
berjamaah di masjid lalu meninggalkan shalat walaupun secara sendirian. Hal ini
dapat dipahami dari hadits Ibnu Mas’ud r.a yang artinya,
“Peliharalah kelima
shalat ini ketika kumandang adzan diserukan, sebab mereka adalah termasuk
sunnatul-Huda dan sesungguhnya Allah SWT telah mensyariatkan kepada Nabi-Nya
sunnah-sunnah al-Huda. Kau telah melihat kami dan tidak ada yang tertinggal
dalam menunaikannya kecuali orang munafik yang jelas-jelas munafik. Kau telah
melihat kami, dan sungguh seorang laki-laki akan dipapah diantara dua orang
laki-laki hingga ia diberdirikan di barisan (shaff shalat), padahal tidak ada
salah seorangpun diantara kalian kecuali ia memiliki masjid di rumahnya.
Jikalau kalian shalat di rumah kalian dan meninggalkan masjid-masjid kalian
maka kalian telah meninggalkan sunnah Nabi kalian dan jika kalian tinggalkan
sunnah Nabi kalian, maka kalian benar-benar sesat.”[2]
Ditetapkannya hukum
sunnah muakkadah untuk shalat berjamaah juga dilihat dari beberapa hadits
Rasulullah SAW yang menggunakan kalimat “lebih baik” dan penggunaan
kalimat-kalimat yang menunjukkan keutamaan shalat jamaah. Pendapat ini dianut
oleh mayoritas ulama dari kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafiiyyah[3].
Sedangkan Syafii dan Malik sendiri mengatakan bahwa hukum shalat berjamaah
adalah fardhu kifayyah, artinya jika di dalam satu desa tidak ada yang
shalat berjamaah, maka berdosa.
B.
Rukhshah
dalam shalat jamaah
Islam memang begitu
menganjurkan umatnya untuk melaksanakan shalat berjamaah, namun ia memberikan
keringanan-keringanan untuk meninggalkannya. Namun begitu, keringanan yang
diberikan tersebut harus disertai dengan adanya uzur yang menghalanginya
melaksanakan shalat berjamaah.
Para ulama telah
menyebutkan uzur-uzur yang karena keberadaannya seseorang diberikan rukhshah
untuk tidak mengerjakan shalat berjamaah. Uzur-uzur tersebut diantaranya;
1.
Sakit
Maksud dari sakit
disini adalah seseorang mengidap penyakit yang menyebabkannya tidak bisa
menghadiri shalat jamaah. Adapun terkait hal ini Rasulullah SAW bersabda,
إذا مرِض العبدُ أو سافر كُتِب له ما كان يعمل صحيحاً مقيماً
Artinya, “Jika seorang hamba sakit atau sedang bepergian,
maka ia mendapatkan pahala sebagaimana ketika ia mengerjakannya (shalat jamaah)
pada waktu sehat meskipun di dalam rumahnya.[4]
Rasulullah SAW
sendiri menjelang akhir hayatnya, beliau jatuh sakit selama tiga hari. Selama
rentang waktu itu, beliau tiduran di balik hijabnya dan menyuruh umatnya untuk
menunjuk Abu Bakr r.a untuk menjadi imam shalat.
2.
Hujan
lebat, adanya lumpur atau angin badai
Islam memberikan
keringanan untuk meninggalkan shalat berjamaah bagi orang-orang yang memiliki
uzur-uzur tersebut. Namun begitu, uzur hujan lebat, lumpur atau angin badai
harus disertai adanya masyaqqah (kesusahan) bagi orang yang hendak
melaksanakan shalat jamaah. Adapun ketika zaman sekarang ketika turun hujan
lebat orang-orang bisa masuk ke mobil mereka kemudian bisa sampai ke masjid
untuk shalat berjamaah, maka tidak ada rukhshah buatnya[5].
Para ulama
berpendapat bahwa hikmah dari uzur ini adalah karena maksud daripada shalat
berjamaah tidak akan terwujud kecuali dengan kekhusyukan di dalam shalat.
Sedangkan karena hujan lebat, banjir lumpur atau karena angin badai, shalat
menjadi tidak khusyuk dan menyebabkan kekacauan di dalam hati[6].
3.
Memakan
bawang merah dan bawang putih
Seseorang yang
setelah memakan dua jenis bawang ini diperbolehkan untuk tidak shalat berjamaah
di masjid, sampai hilang baunya. Hal ini sesuai sabda Nabi SAW yang artinya,
“Barang siapa
memakan jenis sayuran ini, maka janganlah ia mendekati tempat shalat kami
sampai hilang baunya, yaitu bawang putih.”[7]
4.
Uzur
lainnya
Diantara halangan
lainnya adalah cuaca yang sangat dingin, sangat panas, keadaan gelap gulita,
menahan kencing, berak dan kentut. Takut kepada orang zalim disekitar masjid
atau dari orang yang menghutangi sedangnkan ia masih dalam keadaan belum mampu
untuk melunasi[8].
Uzur lainnya, khawatir akan harta benda, keluarga dan nyawa, terburu-buru
hendak bepergian jauh dan boleh meninggalkan shalat jamaah jika Imam shalat
terlalu lama atau terlalu cepat[9]
IV.
Kesimpulan
1.
Hukum
shalat berjamaah adalah sunnah muakkadah, jika dilihat dari
kalimat-kalimat yang dipakai oleh Nabi SAW adalah merupakan kalimat-kalimat
yang menunjukkan keutamaan, seperti afdhalu, tazidu dan lainnya.
2.
Boleh
tidak menghadiri shalat jamaah di masjid jika memiliki halangan-halangan yang
bersifat membebani (masyaqqah) seperti; hujan lebat, banjir lumpur,
badai angin, cuaca yang ekstrem dan lain sebagainya.
V.
Penutup
Demikian makalah
ini kami susun. Pemakalah menyadari ada banyak kekurangan baik dalam segi isi
maupun teknik penyusunan makalah. Pemakalah selalu terbuka terhadap kritik dan
saran dari pembaca guna perbaikan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi siapapun yang membacanya.
Daftar
Pustaka
Abul Bashal, Ali. 2011. Rukhshah Dalam Shalat. Jakarta:
Akbar Media
Al-Fauzan, Saleh. 2005. FIQIH Sheari-hari. Jakarta:
Gema Insani Press
M Azzam, Abdul Aziz & Abd Wahhab Sayyed. 2009. Fiqh
Ibadah. Jakarta: Amzah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
MINTA KOMENTARNYA, GAN :D