Selasa, 12 Agustus 2014

Kereta Legendaris Kaligung !


Catatan tentang rindu yang tercipta di kereta Legendaris Kaligung Ekonomi

“jalur tiga, Jalur tiga ....dari arah barat kereta ekonomi Kaligung....”
Hmmmmmm kira-kira begitulah bunyi pengumuman yang terdengar di stasiun menjelang keberangkatan pertamaku ke Semarang. Rasanya senang kalau tidak disebut ndeso, karena inilah untuk pertama kalinya aku menaiki kereta api. Ya, sampai di umurku yang berjumlah sembilan belas ini aku hanya pernah menaiki angkot, paling keren ya pasti itu bus. Dan mulai hari ini, daftar tumpanganku akan bertambah menjadi tiga, yaitu angkot, bus dan kereta api. Senangnya...
“siap-siap, keretanya sudah datang.”
Ayahku menyadarkan aku yang masih sibuk berandai-andai bagaimana rasanya naik kereta api. Ayahku hanya mengantarkanku sampai stasiun, beliau tidak mengantarku sampai Semarang, lagian di Semarang kami tidak memiliki sanak saudara. Oh iya, aku ke Semarang karena ingin mendaftar kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri disana. Dan untuk sementara waktu, aku akan tinggal di kontrakan teman-teman satu sekolahku dulu. Setidaknya sampai aku menemukan kost. Ayah hanya membekaliku uang secukupnya dan tentu saja, doa agar aku kuliahku lancar dan sukses di Semarang.
“nanti kalau sudah di dalam, langsung saja duduk depan pintu. Disitu lebih asik..”
Haha, lucu.. ayah malah menyuruhku duduk nglemprak di lantai kereta ketimbang menyuruhku duduk di kursi. Namun, apapun itu aku sudah niat untuk mengikuti nasihat ayah, karena kebetulan kita satu selera dalam banyak hal. Setelah mencium tangan ayah, aku langsung memasuki stasiun, melihat kereta mendekat calon penumpangpun mulai berdesakkan. Ternyata masuk kereta ekonomi butuh perjuangan dan tentu saja ekstra hati-hati sama barang yang ada di saku kita.
***
Alhamdulillah, aku sudah tepat di depan pintu, duduk nglemprak di lantai kereta Kaligung beralaskan koran yang baru saja aku beli. Kalau begini, aku jadi merasa kasihan sama penulis-penulis berita koran ini. Mereka mencari dan menulis berita untuk dibaca, kan? Malah aku duduki. Tersenyum dalam hati, aku menyadari tengah melakukan hal yang menurutku adalah perbuatan yang tidak pantas.
Aku taruh tas punggungku di samping kananku karena kebetulan kosong, seperti enggan untuk orang-orang menempatinya. Kuperhatikan sekelilingku, bergumam tentang cantiknya perempuan-perempuan di kursi sana, sedangkan di hadapanku malah orang yang sudah agak sepuh. Lucu juga, padahal hanya sekedar naik kereta ekonomi, tapi penampilan mereka seperti sedang akan berjalan di karpet merah dalam ajang Piala Oscar saja. Agak jauhan sedikit aku lihat anak balita yang menangis, mungkin panas atau haus kali ya.
“Alamak, repot urusannya kalau si bayi itu haus, bagaimana dengan ibu itu yang masih muda? “ batinku
Sebelum jauh pikiranku melangkah ke bagian terlarang, ibu muda itu mengeluarkan botol susu dan membiarkan bayinya ngedot dari botol susu itu, lalu menimang-nimang bayi itu dan mengipasinya dengan kipas kecil.
“haha, betul juga. Botol susu...” batinku kembali.
Angin masuk lewat celah kaca yang pecah, membelai-belai rambut panjangku. Kubiarkan sejenak rambutku dimainkan olehnya, sedikit bermain dengan mata. Ternyata ayah benar, duduk di bagian sini rasanya menyenangkan, karena angin disini baik. Aku tidak harus menangis seperti bayi yang kepanasan disana, atau seperti mbak-mbak yang membuka sebagian dadanya untuk dikipasi karena kepanasan juga.
“mas, maaf ... boleh aku duduk disitu..?”
“eh,,,?”
***
Manis, manis sekali wanita yang meminta ijin duduk tepat di sebelahku ini. Tidak berjilbab sih, tapi wajahnya sungguh adem, membuat tenang orang yang memandangnya, setidaknya untukku begitu. Aku menggeser posisi arah dudukku untuk mendapatkan sudut yang pas memandangi wajahnya. Sekarang aku duduk bersandar ke pintu kereta, melihati wanita itu dari arah samping kirinya. Dia sibuk menyibakkan rambutnya yang terkena angin, hemmmmmmm bau shampo. Entah sejak kapan aku jadi takut mengajak ngobrol orang yang duduk bersebelahan denganku. Padahal biasanya aku mudah sekali tiba-tiba berbincang-bincang santai dengan orang yang duduk satu kursi denganku di bus, seperti orang yang sudah lama kenal. Tapi untuk wanita yang satu ini enggak, aku tidak berani mengajaknya berbicara. Wanita ini juga tidak pengertian, padahal aku kan ingin ngobrol atau sedikit mendengar suaranya.
“uhuk... uhuk...”
Dia batuk dan AHAAAA,,, aku pun mendapatkan ide untuk mengajaknya ngobrol. Otak kananku langsung berkerja dengan baik.
“lagi sakit ya?”
Cihuy! dia melihatku, senang aku.
“iya, mas.... lagi batuk pilek”
Menurut intuisiku, dia pasti suka kalau diajak ngobrol, secara pertanyaanku tadi sebenarnya cukup dijawab dengan iya, kenapa dia menjelaskan dia sedang sakit apa, kan aku tidak menanyakan itu. Senyum.
“aku kok kaya pernah lihat kamu ya mas? Dimana ya?”
Wahaha, dia malah mengajakku ngobrol lebih jauh. Wanita memang seperti itu, padahal mau ngajak bicara, tapi enggan untuk mengawali. Hampir kebanyakan wanita yang aku kenal suka seperti itu, inginnya diajak tapi enggan untuk mengajak.
nggak deh,, kayaknya baru bertemu disini ... emmmm maaf, mbak atau bu ya?
“mbak saja, mas,,,, aku masih muda hehehe
Tuhan begitu baik padaku, padahal sepersekian menit yang lalu aku hanya ingin mendengar suaranya, tapi sekarang aku bisa melihat dia berbicara sambil tersenyum. Manis sekali. Oh iya, kata ayahku, wanita suka diperhatikan.
“mbaknya lagi sakit kok pergi-pergi tho mbak?
“iya nih,ada urusan di kampus, mas...”
“oowh, masih kuliah tho mbak?”
“maaaaaasiiih........ hla masnya? Kuliah juga?”
Sebenarnya aku agak heran dengan cara dia menjawab kalau dia masih kuliah, menjawab yang disertai berpikir. Tapi, dilihat dari wajahnya sih sepertinya memang masih kuliah, muda dan cantik begitu. Ya paling umurnya lebih tua setahun dua tahun dariku. Pembicaraan kita berdua pun akhirnya berjalan sesuai dengan yang aku harapkan, mengalir dengan menyenangkan. Mbaknya setiap berbicara selalu dibumbui dengan senyuman yang membuatku suka sekali berlama-lama ngobrol dengannya. Topiknya sih ringan-ringan saja tapi bagiku ini sungguh menyenangkan. Sayang, 4 jam perjalanan Tegal-Semarang dan mengobrol panjang lebar dengannya, aku melupakan satu hal penting. Aku lupa bertanya siapa namanya.
***
Kalau ada orang yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan pertama, maka aku akan menjadi orang pertama yang akan mendebatnya. Karena, itulah yang aku rasakan. Aku rindu sama wanita yang aku temui di Kaligung itu. Rindu bertemu, rindu menatap wajahnya, rindu berbincang dengannya, rindu segalanya tentang dia. Entahlah, dia ada di sudut kota sebelah mana. Ibaratnya, aku dengan dia berdiri di satu tempat tapi di tengah-tengah kita menjulang dinding yang tinggi. Kita berada di satu kota, tapi tak saling melihat. Tentu saja, hal bodoh yang aku sesali adalah; aku lupa meminta nomer hape nya, aku lupa bertanya dimana kampusnya, aku lupa bertanya siapa namanya. Padahal, dia tahu dimana aku akan kuliah dan dia tahu siapa namaku, bodoh sekali.
Singkat cerita, aku berhasil diterima di Universitas dan di jurusan yang memang aku inginkan. Dari awal ujian masuk aku memang sudah optimis bakal diterima, karena soal-soal ujian masuknya memang bisa aku taklukan dengan cepat dan menurutku, aku mengerjakannya dengan baik. Senyum. Aku melihat telfon genggamku, membaca kembali ucapan selamat disertai sedikit kalimat motivasi dari ayah.
“selamat menempuh jenjang pendidikan yang baru. Buat ibumu bangga”
Begitu bunyi pesan singkat ayahku, pendek memang, tapi tidak akan pernah aku hapus sampai kapanpun. Entah kenapa ayah hanya menyuruhku untuk membuat ibu bangga, kenapa ayah tidak menasehatiku untuk membuat ayah dan ibu bangga. Entahlah, sekali lagi aku belum bisa memahaminya.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kampus, ada agenda Orientasi Mahasiswa, atau biasanya dikenal Ospek. Tempat baru, teman-teman baru, dimana tak satupun aku kenal. Tapi seperti biasa, aku mudah berteman dengan mereka. Setiap aku berkenalan dengan teman baru, hal pertama yang langsung terlintas di pikiranku adalah aku anak yang bodoh. Kenapa aku nggak menanyakan hal yang sama kepada mbak itu?
Aku memang masih sangat sering memikirkan mbak itu. Mbak-mbak berwajah adem, bersenyum manis sekali dan bersuara lembut. Aku masih suka memikirkan bagaimana cara merayu Tuhan agar Dia berkenan mempertemukan aku kembali dengannya. Ini sudah satu bulan setengah sejak;
“kamu pakai angkot mas?”
“iya, mbak.... hla mbaknya dijemput ya?”
“iya, mas... itu orangnya datang. Aku duluan ya mas...”
Mungkin gara-gara waktu itu yang menjemput dia adalah seorang perempuan, aku masih suka berharap-harap. Kenapa waktu itu dia tidak dijemput laki-laki saja. Biar aku langsung terbunuh.
            Berita buruk dan sangat buruk, aku dengar kereta Kaligung ekonomi sudah berhenti beroperasi. Rumornya, operator kereta itu didemo oleh sopir-sopir bus karena gara-gara keberadaan kereta Kaligung Ekonomi, bus-bus jurusan Tegal-Semarang dan sebaliknya menjadi sepi peminat. Akhirnya, kereta Kaligung Ekonomi pun menjadi sebuah kereta legendaris, setidaknya itu bagiku. Dan itu artinya, peluangku bertemu dengan mbak itu menjadi sangat dan semakin mengecil.
***
            Hari ini adalah pertama kalinya aku resmi menjadi mahasiswa. Iya sekarang aku adalah mahasiswa dan hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah, bukan lagi masuk sekolah. Jujur saja, aku lebih suka menggunakan kata kuliah ketimbang sekolah walaupun banyak orang yang mengatakan bahwa antara kuliah dengan sekolah tidak ada perbedaan makna.
            Agenda hari ini adalah pertemuan dengan dosen wali. Beda sedikit dengan di sekolah, sekolah disebut wali kelas di kampus sebutannya dosen wali studi. Lagi, aku lebih suka sebutan untuk yang kedua. Suasana kelas riuh, tapi aku entah kenapa malas untuk berbaur dengan teman-teman baruku. Aku lebih memilih duduk di belakang, berderet dengan mahasiswa putra lainnya. Dan segala keriuhan itu mendadak lenyap ketika dosen wali datang. Setelah mengucap salam beliau pun langsung memperkenalkan diri
“halo semuanya, karena hari ini adalah hari pertama kita bertemu alangkah baiknya kalau kita berkenalan dulu. Bagaimana? Setuju?”
“SETUJUU” serentak teman-teman sekelasku menjawab.
“oke nama saya Lulu Khumaero, saya dari Tegal .......... bla bla bla......... ada yang mau bertanya tentang saya?”
Tanpa menunggu lama, aku sebagai eks siswa yang aktif di sekolah, berusaha menancapkan kuku keaktifan di dunia kampus. Melihatku mengacungkan jari, Bu Lulu tersenyum dan mempersilakan.
“.................. Maaf, saya harus panggil Ibu atau Mbak ?”
Tak dinyana, Bu emmmm Mbak Lulu tertawa menyenangkan sekali. Membuat teman-teman satu kelas tak mengerti. Dan sekali lagi, Tuhan begitu baik kepadaku.

T A M A T

Ini adalah wujudnya penulis yang masih alay


2 komentar:

  1. haha ceritanya menarik,,waah punya kenangan nih di "Kereta Legendaris Kaligung"

    BalasHapus

MINTA KOMENTARNYA, GAN :D