Catatan tentang rindu yang tercipta di kereta Legendaris Kaligung
Ekonomi
“jalur tiga, Jalur tiga ....dari arah barat kereta ekonomi
Kaligung....”
Hmmmmmm kira-kira
begitulah bunyi pengumuman yang terdengar di stasiun menjelang keberangkatan
pertamaku ke Semarang. Rasanya senang kalau tidak disebut ndeso, karena
inilah untuk pertama kalinya aku menaiki kereta api. Ya, sampai di umurku yang
berjumlah sembilan belas ini aku hanya pernah menaiki angkot, paling keren ya
pasti itu bus. Dan mulai hari ini, daftar tumpanganku akan bertambah menjadi
tiga, yaitu angkot, bus dan kereta api. Senangnya...
“siap-siap, keretanya sudah datang.”
Ayahku menyadarkan aku yang masih sibuk berandai-andai bagaimana
rasanya naik kereta api. Ayahku hanya mengantarkanku sampai stasiun, beliau
tidak mengantarku sampai Semarang, lagian di Semarang kami tidak memiliki sanak
saudara. Oh iya, aku ke Semarang karena ingin mendaftar kuliah di salah satu
perguruan tinggi negeri disana. Dan untuk sementara waktu, aku akan tinggal di
kontrakan teman-teman satu sekolahku dulu. Setidaknya sampai aku menemukan
kost. Ayah hanya membekaliku uang secukupnya dan tentu saja, doa agar aku
kuliahku lancar dan sukses di Semarang.
“nanti kalau sudah di dalam, langsung saja duduk depan pintu.
Disitu lebih asik..”
Haha, lucu.. ayah malah menyuruhku duduk nglemprak di lantai
kereta ketimbang menyuruhku duduk di kursi. Namun, apapun itu aku sudah niat
untuk mengikuti nasihat ayah, karena kebetulan kita satu selera dalam banyak hal.
Setelah mencium tangan ayah, aku langsung memasuki stasiun, melihat kereta
mendekat calon penumpangpun mulai berdesakkan. Ternyata masuk kereta ekonomi
butuh perjuangan dan tentu saja ekstra hati-hati sama barang yang ada di saku
kita.
Alhamdulillah, aku sudah tepat di depan pintu, duduk nglemprak di
lantai kereta Kaligung beralaskan koran yang baru saja aku beli. Kalau begini,
aku jadi merasa kasihan sama penulis-penulis berita koran ini. Mereka mencari
dan menulis berita untuk dibaca, kan? Malah aku duduki. Tersenyum dalam hati,
aku menyadari tengah melakukan hal yang menurutku adalah perbuatan yang tidak
pantas.
Aku taruh tas punggungku di samping kananku karena kebetulan
kosong, seperti enggan untuk orang-orang menempatinya. Kuperhatikan
sekelilingku, bergumam tentang cantiknya perempuan-perempuan di kursi sana,
sedangkan di hadapanku malah orang yang sudah agak sepuh. Lucu juga, padahal
hanya sekedar naik kereta ekonomi, tapi penampilan mereka seperti sedang akan
berjalan di karpet merah dalam ajang Piala Oscar saja. Agak jauhan sedikit aku
lihat anak balita yang menangis, mungkin panas atau haus kali ya.
“Alamak, repot urusannya kalau si bayi itu haus, bagaimana dengan
ibu itu yang masih muda? “ batinku
Sebelum jauh pikiranku melangkah ke bagian terlarang, ibu muda itu
mengeluarkan botol susu dan membiarkan bayinya ngedot dari botol susu
itu, lalu menimang-nimang bayi itu dan mengipasinya dengan kipas kecil.
“haha, betul juga. Botol susu...” batinku kembali.
Angin masuk lewat celah kaca yang pecah, membelai-belai rambut
panjangku. Kubiarkan sejenak rambutku dimainkan olehnya, sedikit bermain dengan
mata. Ternyata ayah benar, duduk di bagian sini rasanya menyenangkan, karena
angin disini baik. Aku tidak harus menangis seperti bayi yang kepanasan disana,
atau seperti mbak-mbak yang membuka sebagian dadanya untuk dikipasi karena
kepanasan juga.
“mas, maaf ... boleh aku duduk disitu..?”
“eh,,,?”
***
Manis, manis sekali wanita yang meminta ijin duduk tepat di
sebelahku ini. Tidak berjilbab sih, tapi wajahnya sungguh adem, membuat tenang
orang yang memandangnya, setidaknya untukku begitu. Aku menggeser posisi arah
dudukku untuk mendapatkan sudut yang pas memandangi wajahnya. Sekarang aku
duduk bersandar ke pintu kereta, melihati wanita itu dari arah samping kirinya.
Dia sibuk menyibakkan rambutnya yang terkena angin, hemmmmmmm bau
shampo. Entah sejak kapan aku jadi takut mengajak ngobrol orang yang duduk
bersebelahan denganku. Padahal biasanya aku mudah sekali tiba-tiba
berbincang-bincang santai dengan orang yang duduk satu kursi denganku di bus,
seperti orang yang sudah lama kenal. Tapi untuk wanita yang satu ini enggak,
aku tidak berani mengajaknya berbicara. Wanita ini juga tidak pengertian,
padahal aku kan ingin ngobrol atau sedikit mendengar suaranya.
“uhuk... uhuk...”
Dia batuk dan AHAAAA,,, aku pun mendapatkan ide untuk mengajaknya
ngobrol. Otak kananku langsung berkerja dengan baik.
“lagi sakit ya?”
Cihuy! dia melihatku,
senang aku.
“iya, mas.... lagi batuk pilek”
Menurut intuisiku, dia pasti suka kalau diajak ngobrol, secara
pertanyaanku tadi sebenarnya cukup dijawab dengan iya, kenapa dia menjelaskan
dia sedang sakit apa, kan aku tidak menanyakan itu. Senyum.
“aku kok kaya pernah lihat kamu ya mas? Dimana ya?”
Wahaha, dia malah mengajakku ngobrol lebih jauh. Wanita memang
seperti itu, padahal mau ngajak bicara, tapi enggan untuk mengawali. Hampir
kebanyakan wanita yang aku kenal suka seperti itu, inginnya diajak tapi enggan
untuk mengajak.
“nggak deh,, kayaknya baru bertemu disini ... emmmm maaf,
mbak atau bu ya?
“mbak saja, mas,,,, aku masih muda hehehe”
Tuhan begitu baik padaku, padahal sepersekian menit yang lalu aku
hanya ingin mendengar suaranya, tapi sekarang aku bisa melihat dia berbicara
sambil tersenyum. Manis sekali. Oh iya, kata ayahku, wanita suka diperhatikan.
“mbaknya lagi sakit kok pergi-pergi tho mbak?
“iya nih,ada urusan di kampus, mas...”
“oowh, masih kuliah tho mbak?”
“maaaaaasiiih........ hla masnya? Kuliah juga?”
Sebenarnya aku agak heran dengan cara dia menjawab kalau dia masih
kuliah, menjawab yang disertai berpikir. Tapi, dilihat dari wajahnya sih
sepertinya memang masih kuliah, muda dan cantik begitu. Ya paling umurnya lebih
tua setahun dua tahun dariku. Pembicaraan kita berdua pun akhirnya berjalan
sesuai dengan yang aku harapkan, mengalir dengan menyenangkan. Mbaknya setiap
berbicara selalu dibumbui dengan senyuman yang membuatku suka sekali
berlama-lama ngobrol dengannya. Topiknya sih ringan-ringan saja tapi bagiku ini
sungguh menyenangkan. Sayang, 4 jam perjalanan Tegal-Semarang dan mengobrol
panjang lebar dengannya, aku melupakan satu hal penting. Aku lupa bertanya
siapa namanya.
***
Kalau ada orang yang tidak percaya dengan cinta pada pandangan
pertama, maka aku akan menjadi orang pertama yang akan mendebatnya. Karena,
itulah yang aku rasakan. Aku rindu sama wanita yang aku temui di Kaligung itu.
Rindu bertemu, rindu menatap wajahnya, rindu berbincang dengannya, rindu segalanya
tentang dia. Entahlah, dia ada di sudut kota sebelah mana. Ibaratnya, aku
dengan dia berdiri di satu tempat tapi di tengah-tengah kita menjulang dinding
yang tinggi. Kita berada di satu kota, tapi tak saling melihat. Tentu saja, hal
bodoh yang aku sesali adalah; aku lupa meminta nomer hape nya, aku lupa
bertanya dimana kampusnya, aku lupa bertanya siapa namanya. Padahal, dia tahu
dimana aku akan kuliah dan dia tahu siapa namaku, bodoh sekali.
Singkat cerita, aku berhasil diterima di Universitas dan di jurusan
yang memang aku inginkan. Dari awal ujian masuk aku memang sudah optimis bakal
diterima, karena soal-soal ujian masuknya memang bisa aku taklukan dengan cepat
dan menurutku, aku mengerjakannya dengan baik. Senyum. Aku melihat
telfon genggamku, membaca kembali ucapan selamat disertai sedikit kalimat
motivasi dari ayah.
“selamat menempuh jenjang pendidikan yang baru. Buat ibumu bangga”
Begitu bunyi pesan singkat ayahku, pendek memang, tapi tidak akan
pernah aku hapus sampai kapanpun. Entah kenapa ayah hanya menyuruhku untuk
membuat ibu bangga, kenapa ayah tidak menasehatiku untuk membuat ayah dan
ibu bangga. Entahlah, sekali lagi aku belum bisa memahaminya.
Hari ini adalah hari pertama aku masuk kampus, ada agenda Orientasi
Mahasiswa, atau biasanya dikenal Ospek. Tempat baru, teman-teman baru, dimana
tak satupun aku kenal. Tapi seperti biasa, aku mudah berteman dengan mereka. Setiap
aku berkenalan dengan teman baru, hal pertama yang langsung terlintas di
pikiranku adalah aku anak yang bodoh. Kenapa aku nggak menanyakan hal yang
sama kepada mbak itu?
Aku memang masih sangat sering memikirkan mbak itu. Mbak-mbak
berwajah adem, bersenyum manis sekali dan bersuara lembut. Aku masih suka
memikirkan bagaimana cara merayu Tuhan agar Dia berkenan mempertemukan aku
kembali dengannya. Ini sudah satu bulan setengah sejak;
“kamu pakai angkot mas?”
“iya, mbak.... hla mbaknya dijemput ya?”
“iya, mas... itu orangnya datang. Aku duluan ya mas...”
Mungkin gara-gara waktu itu yang menjemput dia adalah seorang
perempuan, aku masih suka berharap-harap. Kenapa waktu itu dia tidak dijemput
laki-laki saja. Biar aku langsung terbunuh.
Berita buruk dan
sangat buruk, aku dengar kereta Kaligung ekonomi sudah berhenti beroperasi.
Rumornya, operator kereta itu didemo oleh sopir-sopir bus karena gara-gara
keberadaan kereta Kaligung Ekonomi, bus-bus jurusan Tegal-Semarang dan
sebaliknya menjadi sepi peminat. Akhirnya, kereta Kaligung Ekonomi pun menjadi
sebuah kereta legendaris, setidaknya itu bagiku. Dan itu artinya, peluangku
bertemu dengan mbak itu menjadi sangat dan semakin mengecil.
***
Hari ini adalah
pertama kalinya aku resmi menjadi mahasiswa. Iya sekarang aku adalah mahasiswa
dan hari ini adalah hari pertamaku masuk kuliah, bukan lagi masuk sekolah.
Jujur saja, aku lebih suka menggunakan kata kuliah ketimbang sekolah walaupun
banyak orang yang mengatakan bahwa antara kuliah dengan sekolah tidak ada
perbedaan makna.
Agenda hari ini
adalah pertemuan dengan dosen wali. Beda sedikit dengan di sekolah, sekolah
disebut wali kelas di kampus sebutannya dosen wali studi. Lagi, aku lebih suka
sebutan untuk yang kedua. Suasana kelas riuh, tapi aku entah kenapa malas untuk
berbaur dengan teman-teman baruku. Aku lebih memilih duduk di belakang,
berderet dengan mahasiswa putra lainnya. Dan segala keriuhan itu mendadak
lenyap ketika dosen wali datang. Setelah mengucap salam beliau pun langsung
memperkenalkan diri
“halo semuanya, karena hari ini adalah hari pertama kita bertemu
alangkah baiknya kalau kita berkenalan dulu. Bagaimana? Setuju?”
“SETUJUU” serentak teman-teman sekelasku menjawab.
“oke nama saya Lulu Khumaero, saya dari Tegal .......... bla bla
bla......... ada yang mau bertanya tentang saya?”
Tanpa menunggu lama, aku sebagai eks siswa yang aktif di sekolah,
berusaha menancapkan kuku keaktifan di dunia kampus. Melihatku mengacungkan
jari, Bu Lulu tersenyum dan mempersilakan.
“.................. Maaf, saya harus panggil Ibu atau Mbak ?”
Tak dinyana, Bu emmmm Mbak Lulu tertawa menyenangkan
sekali. Membuat teman-teman satu kelas tak mengerti. Dan sekali lagi, Tuhan
begitu baik kepadaku.
T A M A T
Ini adalah wujudnya penulis yang masih alay |
haha ceritanya menarik,,waah punya kenangan nih di "Kereta Legendaris Kaligung"
BalasHapushehehehehehehehe itu cerita waktu masih kuliah mbak :)
Hapus